Pages

Sabtu, 12 Desember 2009

untitled

dahulu, kita mendongak,
menunjuk langit
membentuk bintang untuk
menyusun nama kita
dan meminta Tuhan
menyimpannya
hingga bintang tak lagi bersinar..
walau jasad kita tetap tiada

bogor, desember, 2009

Jumat, 20 November 2009

Siapa Butuh Hukum

Mungkin, manusia tidak pernah membutuhkan hukum.. Apalagi bertujuan terciptanya supremasi hukum!

Karena yang dibutuhkan manusia hanyalah keteraturan. Sesuatu yang sulit dilakukan, karena secara fitrah manusia memiliki perbedaan: dari cara berpikir hingga bertindak.

Karena itulah hukum dibuat. Sebagai pemersatu atas segala segala perbedaan. Lebih tepatnya disebut sebagai sebuah kompromi, atau konsensus, demi terciptanya sebuah keteraturan.

Tapi, apakah hukum benar-benar menciptakan keteraturan? Apa yang dimaksud keteraturan di sini? Keteraturan yang dipaksakan? Atau keteraturan yang lahir dari kesadaran?

Secara historis, hukum kemudian bermetamorfosis. Bukan lagi sebuah kompromi dengan tujuan keteraturan, yang dilahirkan dari kesadaran. Tapi hukum hanya menciptakan sebuah keteraturan yang dipaksakan! Karena itu lahir turunan hukum: dari produk hukum, sampai penegak hukum.

Sampai di titik ini, saya sulit mempercayai hukum dibuat demi keteraturan masyarakat. Tapi berkembang sebagai sebuah alat untuk mengatur masyarakat.

Jika pada awalnya hukum dibuat untuk menghindari dominasi suatu kelompok atas kelompok lain, hukum malah bisa menjadi legitimasi dominasi suatu kelompok terhadap kelompok lain.

Suatu produk hukum seperti Undang-Undang misalnya, bisa diutak atik menjadi sebuah legitimasi kekuasaan suatu rezim. Sah untuk membungkam kritik di masyarakat. Sah untuk tiap persekongkolan jahat yang dilakukan. Jika melawan, ada aparat hukum yang siap menindak setiap pelanggar.

Tapi, konstruksi yang dibentuk, sanksi hukum dibuat untuk memenuhi rasa keadilan, bla, bla, bla.. Masalahnya, siapa yang bisa memenuhi rasa keadilan? Bukankah manusia memelihara konsep adanya tuhan, juga surga/neraka, karena tidak bisa menemukan keadilan di dunia.

Ahh, entahlah.. Jadi siapa membutuhkan hukum? Masyarakat? Atau rezim (pengatur masyarakat)?

NB: percayalah, saya bukan seorang anarki sindikalis. ini hanya sebuah pertanyaan. entah retoris atau bukan...

Selasa, 03 November 2009

kepada waktu

kepada waktu,
haruskah kita berserah?

seperti daun, yang menguning layu;
seperti kulit, yang kerut mengeriput;
seperti rasa, yang perlahan mengelupa;
seperti asa, yang teranggas usia;

kepada waktu,
terseruak tanya tanpa tanda:
entah ke mana akan bermuara,
entah seperti apa akan menjelma

november, 2009

Kamis, 18 Juni 2009

Golput



Kelak, saya akan bertanggungjawab di hadapanMu, Allah Azza wa Jalla, bahwa saya telah memilih yg mudhorotnya paling kecil, yang terbaik dari yang terburuk, dengan pertimbangan semua pengetahuan saya tentang 3 pasangan itu: Yaitu memilih untuk TIDAK MEMILIH! Lagi!

Allah, saksikanlah. Bahwa sikap ini bukan merupakan keputusasaan. Mungkin memang dengan sedikit keterpaksaan. Semoga merupakan keterpaksaan yang sementara.

Karena harapan itu masih ada, akan tetap ada, selalu ada.

Selama harta bukanlah washilah utama untuk meraih kekuasaan. Selama kekuasaan bukanlah tujuan utama dan dasar dari perjuangan.

Selama harta dan kuasa tidak lagi menjadi fitnah yang menjadikan kami, juga ummat penerus ajaran Muhammad ini, terkotak, terpisah, terpecah belah. Terperangkap dalam kepicikan untuk membela hal-hal yang tidak substansif: Partai, Hizb, Harokah, jamaah (dengan j kecil), dan kesempitan lain. Hingga kepicikan itu membuat kami melupakan substansi yang lebih mulia: Izzul Islam wal Muslimin!

Allah. Saksikanlah. Bahwa jiwa ini, tetap merindukan kesyahidan; Merindukan keinginan untuk menatap wajahMu; keinginan berjumpa kanjeng Nabi Muhammad; dipersatukan dalam keindahan Jannah bersama saudara seiman.

Jika hati ini, jiwa ini, raga ini, kotor dengan kekhilafan, maka sucikanlah.. Jika relung hati ini penuh dengan kekecewaan terhadap partai yang mengatasnamakan dakwah, maka sembuhkanlah.

Karena dengan Islam, hamba pernah merasa mulia. Dengan Islam, hamba berharap terus mulia hingga nafas terakhir. Takdirkan hamba, agar dapat teguh dalam perjuangan di jalanMu, untuk mewujudkan cita ini: terwujudnya Izzul Islam wal Muslimin.

Hingga tidak lagi malu untuk mencalonkan kader terbaik ummat ini sebagai calon pemimpin negeri.

Yaa Robbul Izzati! Takdirkanlah!

Jumat, 01 Mei 2009

Sesat 2

karena setapak
tak lagi berjejak,

masih adakah arah?

entah ke mana

april, 2009

Sabtu, 18 April 2009

Meracau: Ingin

Bahagia itu, CINTA, apakah berarti bila kami, manusia, dapat mereduksi ingin?

Dari sejumlah ingin sederhana: punya rumah, punya mobil, punya segala harta. Hingga ingin yang absurd tak terhingga: sehat jiwa, punya anak saleh yang selalu mendoakan orang tuanya, hingga keterpuasan nafsu-syahwati.

CINTA, entah hingga kapan kami, manusia, belajar bahwa ingin jua yang menjerumuskan moyang kami ke planet ketiga dari matahari ini. Diungsikan dari sebuah jagat surgawi, hanya karena ingin mencicipi ranumnya buah, yang konon bernama kuldi.

Namun mitos di dunia kami pun terpaksa menyalahkan Iblis sebagai kambing hitam. Karena ingin tak punya wujud, tak punya tanduk!

Dalam diriku, CINTA, juga tertanam berjuta ingin. Dari yang sederhana: Rumah sederhana di Menteng atau Tebet; dengan istri cantik yang mampu memenuhi dahaga hati-syahwati, anak-anak sehat-cerdas, dan segala kebutuhan materi lain.

Ada juga ingin yang absurd tak terkira: Memenuhi dahaga intelektual-dan-pengalaman-duniawi untuk mengelilingi planet yang bernama bumi ini.

Namun jika itu masih terasa sulit untuk direduksi, CINTA.. Izinkan saya memiliki ingin, satu saja: Untuk berada dalam pelukanMu.. Dalam rengkuhanMu, CINTA...

Satu ingin saja, CINTA.. Untuk menghilangkan ingin-ingin yang lain.

Sabtu, 04 April 2009

Meracau: Film Hitam-Putih

Kemudian, kau dan aku bagaikan masuk dalam adegan film hitam-putih itu.

Kau, dalam balutan kemeja lengan panjang dan rok panjang, tampak anggun dengan rambut yang terurai sebahu. Menanti dengan raut muka yang tampak resah, di bawah pohon itu.

Sedang aku, dengan tergopoh mengayuh sepeda onthel, menghampiri manis senyum di wajahmu, saat melihat hadirku.

Kemudian kita susuri pematang, yang entah untuk menikmati apa selain kebersamaan. Kau mengikutiku dari belakang. Sedang aku menggenggam erat tanganmu, layaknya membimbing anak kecil yang baru belajar berjalan.

Di sebuah saung bambu, kemudian kau dan aku bicara tentang masa depan yang terlalu sederhana: rumah mungil bersekat bambu, berdinding gedhek bambu, dan beratap rumbia dari dedaunan. Dengan 5 makhluk kecil yang makin mewarnai hidup kau dan aku.

Ahh, puan... Tentu akan indah jika cinta melahirkan bahagia yang sederhana seperti itu. Tapi kita hidup di masa dengan film yang penuh warna. Dan tidak hanya hitam-putih seperti itu, bukan?!

Sabtu, 28 Maret 2009

Meracau: Sebelum Malam Terlalu Larut

karena malam belum terlalu larut. dan aku memilih untuk berbincang dengan bayangan. dan tenggelam dalam omong kosong kebahagiaan hidup. untuk melupakan sejenak akan yang disembunyikan malam: derita berkepanjangan dan sesak tak tertahan dalam mimpi-mimpi panjang.

kemudian makin tersadarkan oleh tangis bayi lapar di tengah malam. tapi, hei, sang ibu masih menunggu pelanggan setia di perempatan jalan.

hingga kemudian, aku dan bayangan menghentikan masturbasi percakapan. memilih untuk menyalakan radio yang melantunkan lagu tentang zinah.. oh maaf, tentang cinta.

namun hei, tidak ada kisah layaknya sampek-engtay dalam lirik-lirik sendu itu. samar-samar terdengar kata yang merupakan manifestasi individualisme semata: ingin, butuh, mau, mau, mau... mau?!

Kamis, 12 Maret 2009

merindukanMu, Cinta....


merindukanMu, Cinta... ibarat seorang buta sejak lahir yang merindukan cahaya. terasa, namun tak dapat terekam lensa mata dan retina. lagipula apa arti cahaya, bila tak satu gelap pun pernah dirasa. (walau konon, gelap adalah ketiadaan cahaya)

Jumat, 27 Februari 2009

Sunduquna Juyubuna Itu....

Seorang teman yang kader sebuah partai bercerita romantika masa lalu. Ketika partai itu masih partai kecil. Begitu kecilnya hingga tidak lulus electoral threshold..

Walau demikian, militansi kader partai itu sangat tinggi. Dengan bekal semangat mencari ridhoNya, bahkan ketika kampanye pun modal untuk bikin atribut berasal dari kantong sendiri.

Sunduquna juyubuna, demikian istilah arabnya. Kurang lebih berarti dana partai berasal dari kantong kader-kadernya. Istilah yang kemudian berkembang menjadi Partai Kantong Sendiri.

Nah, teman itu bercerita. Karena kondisinya demikian, atribut partai pun menjadi sangat berharga. Andai suatu ranting hanya bisa punya 50 bendera dan 5 spanduk, maka itu akan diinventarisir. Itu akan dicatat di mana saja bendera dan spanduk itu dipasang. "Bahkan kalau perlu dicuci biar kelihatan baru," katanya.

Hmm.. Tiba-tiba saya teringat ketika partai ini masih Partai Kecil pada pemilu '99. Memang partai ini sudah mampu untuk bikin iklan. Tapi iklannya tidak pernah dipasang pada saat prime time. Biasanya hanya ada saat acara kuliah subuh.

Hmm.. Tentu waktu itu ghiroh keislaman masih kental di partai itu. Hingga seolah-olah segmen yang diincar tertentu saja. Ya itu, yang biasanya lihat tivi setelah sholat subuh.

Tapi yang lebih menarik, kapan saja iklan itu akan tayang diinfokan juga ke kadernya. Jadi kader-kader dapat jadwal penayangan iklan itu. Dari tanggal, jam penayangan, hingga di acara apa akan ditayangkan. Karena, ya sunduquna juyubuna itu. Kader perlu lihat seperti apa iklan itu jadinya. Toh iklan itu juga dibuat karena dananya berasal dari kantong para kader.

Sekarang.. Partai ini sudah agak besar. Posisinya pun strategis. Konon akan jadi kunci kemenangan 3 capres dari partai merah, kuning, biru.

Hmm.. Entah apa ini juga terjadi di daerah lain. Rasa-rasanya, di Jakarta aktifitas mencuci lagi atribut jadi hal yang langka. Karena mungkin dana untuk bikin atribut bukan lagi sesuatu yang sulit didapat.

Iklan yang dibuat pun sudah ditayangkan saat prime time. Dengan penggambaran yang lebih modern. Hmm.. Saya pikir, penyebaran fotokopian jadwal penayangan iklan tidak lagi ada di masa sekarang.

Hmm.. Mungkin kadernya terlalu ikhlas dan tsiqoh untuk apa saja kantong mereka digunakan. Atau sudah terlalu banyak dana yang ada sekarang, dibanding ketika masih Partai Kecil.

Toh buat apa cuci atribut kalau bisa beli baru. Buat apa pasang iklan saat kuliah subuh, kalau bisa pasang di prime time. Tidak perlu repot untuk membagikan jadwal penayangan iklan juga, kan...?

Hmm.. Mungkin partai ini kini punya kader yang banyak. Atau tingkat ekonomi kadernya meningkat. Hingga dana yang katanya sunduquna juyubuna bukan lagi masalah.

Hmm.. Konon, ada juga pengusaha yang bersimpati. Sampai gosipnya (ingat ini baru gosip ya, karena belum saya konfirmasi) mau membiayai pembuatan gedung untuk dijadikan markas DPP yang baru di TB Simatupang. Namun pengusaha itu dianggap bermasalah oleh beberapa kadernya (atau mantan kader), karena termasuk salah satu pengemplang dana BLBI.

Hmm.. Namun semakin menarik ketika akhirnya, nama pengusaha itu disebut-sebut sebagai salah satu alternatif opsi untuk cawapres dari partai itu. Dan yang menyebut juga salah satu kader terbaik partai. Walau akhirnya pasti dibantah Presiden partai: "Itu masih pendapat pribadi. Keputusan ada di majelis syuro."

Hmm.. Hasan Hudaibi, salah seorang mantan Mursyid Aam Ikhwanul Muslimin, pernah mengatakan: "Anjing tidak pernah menggonggong kepada tuannya yang memberikan tulang.."

Dalam konteks ini, sunduquna juyubuna adalah harga diri. Adalah martabat. Walau mungkin harus mencuci atribut, menginventaris, dan mencatat di mana saja atribut itu dipasang. Walau hanya bisa pasang iklan di saat kuliah subuh, thok.

Hmm.. Saya hanya bisa mengatakan ke teman itu. Sabarlah.. Mungkin ini fase fitnah dalam roda hidup. Andai fase berikutnya adalah mihnah, fase ketika Allah menyaring orang-orang yang istiqomah di jalanNya, berdoa semoga kita termasuk yang lolos saringan. Amiin..

Senin, 09 Februari 2009

Sebelum Mati....

Tuhan.. Sebelum saya mati, kabulkanlah beberapa permintaan. Tidak banyak, kok, Tuhan..

Saya ingin menyanyikan lagu "You'll Never Walk Alone" di suatu pertandingan Liverpool di Anfield, sebelum mereka pindah markas. Ingin juga menikmati sudut Quartier Latin, Paris, sambil belajar bahasa Prancis,kalimat2 selain "l'etat cest moi" atau "dur dur detre baby". Eh, tapi penasaran juga lihat Abbey Road, siapa tahu bisa foto sambil nyebrang kaya The Beatles itu lho, Tuhan.

Hmm.. Tapi Tuhan, kayaknya perjalanan membelah sungai-sungai di Eropa juga menarik. Namanya apa Tuhan: Seine? Rheine? Thames? Yang katanya lebih bersih dr Ciliwung, ya?

Tuhan, saya ingin melihat migrasi lumba-lumba di perairan pasifik. Atau lihat paus putih besar, yang konon beratnya 32 kali gajah Afrika. Ingin juga lihat langsung cheetah yang lari mengejar impala di afrika. Atau main-main sama penguin, kayaknya lucu juga.

Hehe, terkadang punya pikiran iseng juga.. Ingin berenang bareng piranha di amazone. Atau dalam perjalanan mencari El Dorado itu.. Hmm, kayaknya menyusuri lorong-lorong tua di Yerusalem juga menarik. Apalagi kalo bisa ngerasain menyusuri terowongan rahasia dari Mesir yang menuju Gaza.

Hmm.. Pengen jg main2 ke Graceland. Terus lihat tugu2 yg katanya jd simbol2 freemason, di Washington itu, Tuhan... Hehe, jd pengen ikut tour menyusuri tempat-tempat di Da Vinci Code. Serasa jd Langdon banget dah...

Oh iya Tuhan.. Kayaknya saya juga pengen liat tempat syuting Lord of the Ring itu.. Di New Zealand ya? Atau pengen liat kastil-kastil, yg kaya Hogwarts itu..

Hehe.. Tenang aja Tuhan.. Saya ga lupa koq. Saya jg pengen lihat rumahMU, yang kotak nan hitam itu. Hmm.. Pingin liat juga heroisme bukit Uhud. Tempat rasulullah pernah bersimbah darah. Sungguh jauh dari pemimpin sekarang yang cuma bersimbah harta.

Ahh, banyak banget ya minta saya... Tapi Tuhan.. Bantu wujudin dong. Setidaknya untuk lihat Leang2 di Sulawesi yg penuh lukisan prasejarah itu. Atau menyusuri hutan2 dan sungai2 kalimantan. Atau snorkling dan diving di wakatobi dan rajaampat. Atau... Ahh.. Banyak bgt yg mo saya lihat, alami, rasakan, Tuhan... Sebelum mati!

Rabu, 14 Januari 2009

Suatu Gambar Serupa Malam


Tak ada yang istimewa malam ini, Puan.
Hanya ada rembulan, dan dua cangkir kenangan:
kental, hitam, pahit.

Lalu kita bayangkan langit
serupa puzzle yang tak pernah bisa
kita selesaikan:
Kumpulan fragmen tanpa bentuk, tanpa makna.

Ahh, barangkali akan datang suatu masa,
ketika akhirnya tergambar rupa malam.
Mungkin akan terlihat bintang membentuk benang kusut,
seperti lukisan Van Gogh itu?

Indahkah malam seperti itu, Puan?

januari, 2009

Kamis, 01 Januari 2009

On History

Nobody hates history..
People just hate their own history..

-a dialogue in forgotten movie, or book(?)-