Seorang teman yang kader sebuah partai bercerita romantika masa lalu. Ketika partai itu masih partai kecil. Begitu kecilnya hingga tidak lulus electoral threshold..
Walau demikian, militansi kader partai itu sangat tinggi. Dengan bekal semangat mencari ridhoNya, bahkan ketika kampanye pun modal untuk bikin atribut berasal dari kantong sendiri.
Sunduquna juyubuna, demikian istilah arabnya. Kurang lebih berarti dana partai berasal dari kantong kader-kadernya. Istilah yang kemudian berkembang menjadi Partai Kantong Sendiri.
Nah, teman itu bercerita. Karena kondisinya demikian, atribut partai pun menjadi sangat berharga. Andai suatu ranting hanya bisa punya 50 bendera dan 5 spanduk, maka itu akan diinventarisir. Itu akan dicatat di mana saja bendera dan spanduk itu dipasang. "Bahkan kalau perlu dicuci biar kelihatan baru," katanya.
Hmm.. Tiba-tiba saya teringat ketika partai ini masih Partai Kecil pada pemilu '99. Memang partai ini sudah mampu untuk bikin iklan. Tapi iklannya tidak pernah dipasang pada saat prime time. Biasanya hanya ada saat acara kuliah subuh.
Hmm.. Tentu waktu itu ghiroh keislaman masih kental di partai itu. Hingga seolah-olah segmen yang diincar tertentu saja. Ya itu, yang biasanya lihat tivi setelah sholat subuh.
Tapi yang lebih menarik, kapan saja iklan itu akan tayang diinfokan juga ke kadernya. Jadi kader-kader dapat jadwal penayangan iklan itu. Dari tanggal, jam penayangan, hingga di acara apa akan ditayangkan. Karena, ya sunduquna juyubuna itu. Kader perlu lihat seperti apa iklan itu jadinya. Toh iklan itu juga dibuat karena dananya berasal dari kantong para kader.
Sekarang.. Partai ini sudah agak besar. Posisinya pun strategis. Konon akan jadi kunci kemenangan 3 capres dari partai merah, kuning, biru.
Hmm.. Entah apa ini juga terjadi di daerah lain. Rasa-rasanya, di Jakarta aktifitas mencuci lagi atribut jadi hal yang langka. Karena mungkin dana untuk bikin atribut bukan lagi sesuatu yang sulit didapat.
Iklan yang dibuat pun sudah ditayangkan saat prime time. Dengan penggambaran yang lebih modern. Hmm.. Saya pikir, penyebaran fotokopian jadwal penayangan iklan tidak lagi ada di masa sekarang.
Hmm.. Mungkin kadernya terlalu ikhlas dan tsiqoh untuk apa saja kantong mereka digunakan. Atau sudah terlalu banyak dana yang ada sekarang, dibanding ketika masih Partai Kecil.
Toh buat apa cuci atribut kalau bisa beli baru. Buat apa pasang iklan saat kuliah subuh, kalau bisa pasang di prime time. Tidak perlu repot untuk membagikan jadwal penayangan iklan juga, kan...?
Hmm.. Mungkin partai ini kini punya kader yang banyak. Atau tingkat ekonomi kadernya meningkat. Hingga dana yang katanya sunduquna juyubuna bukan lagi masalah.
Hmm.. Konon, ada juga pengusaha yang bersimpati. Sampai gosipnya (ingat ini baru gosip ya, karena belum saya konfirmasi) mau membiayai pembuatan gedung untuk dijadikan markas DPP yang baru di TB Simatupang. Namun pengusaha itu dianggap bermasalah oleh beberapa kadernya (atau mantan kader), karena termasuk salah satu pengemplang dana BLBI.
Hmm.. Namun semakin menarik ketika akhirnya, nama pengusaha itu disebut-sebut sebagai salah satu alternatif opsi untuk cawapres dari partai itu. Dan yang menyebut juga salah satu kader terbaik partai. Walau akhirnya pasti dibantah Presiden partai: "Itu masih pendapat pribadi. Keputusan ada di majelis syuro."
Hmm.. Hasan Hudaibi, salah seorang mantan Mursyid Aam Ikhwanul Muslimin, pernah mengatakan: "Anjing tidak pernah menggonggong kepada tuannya yang memberikan tulang.."
Dalam konteks ini, sunduquna juyubuna adalah harga diri. Adalah martabat. Walau mungkin harus mencuci atribut, menginventaris, dan mencatat di mana saja atribut itu dipasang. Walau hanya bisa pasang iklan di saat kuliah subuh, thok.
Hmm.. Saya hanya bisa mengatakan ke teman itu. Sabarlah.. Mungkin ini fase fitnah dalam roda hidup. Andai fase berikutnya adalah mihnah, fase ketika Allah menyaring orang-orang yang istiqomah di jalanNya, berdoa semoga kita termasuk yang lolos saringan. Amiin..