Pages

Kamis, 25 Desember 2008

Eli, lama sabakhtani?

Natal.. Biasanya di malam natal gw 'menunggu' Ghost of the Past dtg. Tp tidak tahun ini.

Hehe,di pagi natal, gw keliling Jakarta yg sepi, paling hanya ada beberapa titik yg rame. Itu jg dkt gereja, yg menggelar misa natal.

Ah, seperti biasa, gw iri melihat orang yg dipenuhi rasa bahagia karena iman. Iri melihat senyum mereka yg berjalan sambil menenteng alkitab kecil, mungkin dengan pakaian terbaik di hari istimewa mereka.

Tiba-tiba gw pengen cari masjid terdekat. Pengen tunduk, sujud, takluk.

Menyadari, gw iri karena selama ini gw merasa dalam keimanan yg semakin meranggas. Rasa-rasanya sholat gw cuma sekedar menggugurkan kewajiban, tanpa kesadaran penuh. Mungkin sekedar tunggang-tungging semata.. Udah lama gw ga meneteskan air mata dalam sujud yg panjang.

Eloi, Eloi, lama sabakhtani?

Tuhan, walau sedemikian meranggasnya imanku, Kau tidak pernah meninggalkanku,kan?

Minggu, 30 November 2008

Akhi...

Akhi... Pada suatu masa, ada semboyan yang sering kita senandungkan. Yang juga disenandungkan Suara Persaudaraan (yang entah kemana hilangnya para munsyid, mungkin digantikan grup band yang sukses dengan album religi): Alloh ghoyatuna, Muhammad qudwatuna, Alquran dusturuna, Jihad sabiluna, Syahid asmaamanina.

Ya akhi, Alloh ghoyatuna. Apapun ijtihad da'wah yang dipilih. Maka ketika terbentuk partai, kita berharap akan jadi wahana untuk membentuk masyarakat yang taat pada hukum-hukumNya. Walau bukan formalisasi syariat yang jadi tujuan akhir perjuangan.

Karena itu akhi, dalam setiap halaqoh, kita selalu diingatkan akan kekuatan ruhiyah sebagai penggeraknya. Iman-lah yang menjadi modal dalam mempengaruhi orang lain untuk ingat akanNya.

Bukan akhi. Bukan sepatu seharga 2 juta yang membuat orang menghargai kita. Bukan pula lobi melalui golf seharga 1 juta per jam, hingga anggota partai lain menghargai pendapat kita. Namun dengan iman. Karena Alloh-lah yang membolak-balikan hati untuk taqwa atau kufur akanNya.

Akhi,ingatlah... Bahwa kita 'dibesarkan' dalam gerakan yang berawal dari masjid. Bukan barak militer, atau bawah pohon beringin. Lalu mengapa kita semakin menjauh dari saudara seiman. Dan semakin merangkul militer. Mengapa kita sering menjauhi ulama dan menempel erat para jendral, juga para pejabat.

Akhi, kita selalu diingatkan, jalan ini penuh onak dan duri. Jadi jangan harap mendapatkan harta, justru pengorbanan harta-lah modal utama kekuatan kita. Harta kita berasal dari kantong kita, kerja keras kita. Bukan mengemis dari Cendana. Atau berharap ada dana non-budgeter institusi tertentu yang masuk ke pundi-pundi kas kita. Bukan pula suap dari pengusaha yang ingin dibuatkan UU sesuai keinginan mereka.

Akhi, kita pernah diingatkan untuk menjauhi khilafiyah, dan merekatkan ukhuwah. Namun akhi, politik adalah sumber utama khilafiyah. Maka adalah sebuah konsekuensi logis ketika khilafiyah menjadi kerikil dalam proses perjalanannya.

Akhi, mungkin jama'ah adalah nilai atau ruh, bukan sebuah struktur, tanzhim, atau organisasi. Dan ukhuwah-lah yang merekatkannya. Jadi walau kita tidak sepakat dalam suatu ijtihad, ukhuwah yang menjadikan kita tsiqoh satu sama lain. Hingga tidak akan lahir kecurigaan karena perbedaan struktur, tanzhim, atau organisasi.

Akhi, komitmen setiap muslim adalah kepada Islam, bukan kepada Hizb, -iyah, atau partai. Karena partai akan binasa di tangan kezholiman penguasa. Hizb dan -iyah juga akan hancur oleh dunia yang ghurur. Namun Islam, akan terus dijagaNya hingga hari akhir.

Dan masing-masing kita akan dihisab berdasarkan nilai ibadah, bukan kontribusi kepada partai. Kita akan ditimbang di mizan sebagai individu, bukan sebagai kader partai.

Afwan akhi, apabila ada kata-kata yang menyengat. Siapalah saya, selain makhluk yang lemah dalam ibadah. Insan yang penuh khilaf dalam lisan-perbuatan. Bahkan tidak pernah mampu menjaga adab ikhtilat.

Namun, mungkin saja kedhoifan ini lebih mampu menyentuh hati. Karena konon ada sekumpulan ustadz yang malah dijauhkan ketika menasihati dalam kebaikan. Diasingkan ketika bersekutu dalam kepedulian.

Jika memang masing-masing kita tidak mau mendengar nasihat kebaikan, maka semoga kita tetap ingat bahwa azab Alloh sangat pedih.

Segala haq adalah milik Alloh. Allohu'alam..

Kamis, 20 November 2008

PKS Mulai Lupa...

Ngga puas dengan menempatkan Soeharto sebagai pahlawan dan guru bangsa, PKS kembali membuat ulah. Kali ini dengan membuat "diskusi" atau apalah namanya itu di JCC, Rabu (19/11), dengan tema rekonsiliasi. Dalam acara ini juga diundang keturunan dari beberapa 'so-called pahlawan', termasuk anak Soeharto.

Dan kemudian gw sepakat dengan ucapan Amarzan Lubis (redaktur senior Tempo). Kurang tepat kalau ini disebut rekonsiliasi, karena nilai konflik dari 'so-called pahlawan' itu sedikit. Kecuali keturunan dari anak-anak Aidit, Syam, Nyoto, Untung, juga diundang.

Atau mungkin juga keturunan 'pahlawan' yang dilahirkan sejarah, karena mereka jadi korban Soeharto, ikut diundang. Seperti keturunan korban Priok 1984, 27 Juli 1996, dan banyak lagi...

Ahh, gw makin cape aja denger apologi PKS. Rekonsiliasi lah, demi masa depan lah, kenapa ga jujur aja: demi suara.

PKS mulai lupa kalau mereka lahir dan dibesarkan dari komunitas masjid, bukan dari barak militer.
PKS mulai lupa kalau mereka lahir dan dibesarkan dari lingkar diskusi ilmiah kampus, bukan birokrat zaman Golkar masih belum jadi partai.
Mungkin juga, PKS lupa dengan senyuman para merbot masjid, karena makin akrab dengan senyum para penjaga pintu di hotel bintang lima...

Ahh.. Semoga mereka ga lupa aja sama yang namanya syahadat..

Rabu, 19 November 2008

Fatalis!

Biarlah kata-kata tersimpan
seperti malam menyimpan
bintang
sehingga untaiannya
akan menjadi konstelasi terindah
dalam hamparan langit
angan

Biarlah berjuta tanya tersimpan
seperti awan menyimpan
hujan
sehingga rintiknya
akan menjadi gerimis terindah
dalam ranah
pengharapan

agustus, 2004

Minggu, 09 November 2008

Dan Media Menciptakan Mereka..

Dan kita menciptakan mereka serupa monster. Menyeramkan, berbahaya, tidak punya hati. Hingga harus dibentuk detasemen khusus untuk memburu mereka. 88, sebuah angka yang mereka anggap sebagai bentuk intervensi. Angka yang merupakan jumlah korban dari negara tetangga: Australia.

Dan kita menciptakan mereka serupa virus. Ada, namun sulit terlihat. Tidak bisa dibunuh, hanya bisa diminimalisir. Entah apakah sengaja dipelihara intelejen, sehingga siap dijadikan kambing hitam apabila terjadi instabilitas negara.

Dan kita menciptakan mereka layaknya syuhada. Mati dibunuh negara, yang tidak memiliki kejelasan hukum. Eksekusi mati pun tak ayal layaknya sebuah kompromi. Tak ada hak atas 3 permintaan terakhir mereka. Namun negara juga tak punya nyali untuk segera mengeksekusi. Hingga mereka pun dianggap 'pahlawan', yang menjadi korban kezholiman negara.

Dan kita menciptakan mereka layaknya selebriti. Bukan dengan 'keteladanan' kawin-cerai, atau rebutan anak. Namun dengan pesan perang dan kebencian. Pesan yang mungkin akan terus melahirkan jutaan mereka yang lain.

Ahh, bukankah media lebih berbahaya dibanding mereka. Lebih laten dibanding mereka. Lebih berdosa dibanding mereka.

Minggu, 02 November 2008

Love, Peace, and Beatbox


Rating:★★★★★
Category:Movies
Genre: Documentary
Konon ada lima unsur hip hop: Rap, DJ-ing, Breakdance, Grafiti, dan Beatbox. Namun, menurut para beatboxer, Beatbox bukan sekedar Hip hop, melainkan seni perkusi mulut yang bisa juga memainkan jazz, raggae, dance hall, bahkan tradisional. Begitu juga dengan film Love, Peace, and Beatbox, sebagai sebuah film yang bukan sekedar film dokumenter musik semata.

Film karya Volker Meyer-Dabisch ini menggambarkan komunitas beatbox di Berlin. Tentang bagaimana mereka menunjukkan skill ajaib dengan mengolah berbagai suara menjadi ritme musik yang asyik. Tentang bagaimana perjuangan mereka untuk menunjukkan eksistensinya. Juga tentang filosofi setiap kegiatan: dari jam session, battle, hingga competition.

Film ini juga memperlihatkan bahwa Beatbox sudah dikenal di Berlin pada tahun ‘80-an awal, sama dengan perkembangan Beatbox di negara asalnya: Amerika Serikat. Saat itu seorang bernama Maxim mulai memperkenalkan beatbox kepada anak muda Berlin.

Sontak apa yang diperkenalkan Maxim disambut anak muda di Berlin, yang saat itu masih terbagi oleh tembok di tengah kota. Perlahan, beatbox pun menjadi pesan perdamaian untuk menghilangkan ‘batas’ tembok dan pandangan politik Timur-Barat Berlin. Juga menjadi pesan damai untuk melupakan perbedaan ras Eropa, Turki, dan Arab, di saat masalah imigran menjadi hal yang besar karena dipolitisasi.

Hal menarik lain dari film Love, Peace, and Beatbox adalah melihat bagaimana suatu budaya Afro-Amerika seperti Beatbox, diapresiasi di Jerman, sebuah negara yang pernah sombong setengah mati saat Hitler melantangkan Deutsch Uber Alles. Sebuah bukti bahwa budaya bisa lihai menembus pagar-identitas hasil konstruksi manusia.

(Love, Peace, and Beatbox, merupakan salah satu film yang diputar dalam rangkaian acara Europe on Screen 2008. Tidak hanya pemutaran film, tapi juga disertai aksi beatboxing dari Mando, Juara Kompetisi Beatboxing Jerman 2006 dan 2007.)

Senin, 06 Oktober 2008

Laskar Pelangi


Rating:★★★★★
Category:Movies
Genre: Education
Rasulullah Muhammad pernah mengatakan "surga di bawah naungan pedang"... Sebuah pernyataan yang kemudian menjadi legitimasi mereka untuk mencari surga dengan pedang, perang, juga aksi istisyahidah. Tapi, siapalah saya untuk men-judge benar-tidaknya pencarian mereka akan surga... Hanya saja, ada pencarian akan surga yang lebih humanis, yang diajarkan Ibu Muslimah dan Pak Harfan di Laskar Pelangi.

Dengan penuh keikhlasan, mereka percaya bahwa pencarian akan surga bisa ditempuh dengan cara "mengajarkan anak-anak akan akhlaqul karimah". Walau mereka hanya dibayar dengan beberapa karung beras tiap bulan. Walau dengan ancaman bahwa suatu saat anak-anak ini akan berhenti sekolah karena harus membantu orang tuanya dengan bekerja, sesuatu yang sebenarnya merampas masa kanak-kanak mereka.

Setiap pengajaran yang berasal dari hati, akan terhujam pula di hati murid-murid yang diajarkan. Dengan hati pula murid-murid ini berusaha meraih pendidikan. Bukan pendidikan yang indikasi suksesnya diukur dengan angka. Tapi juga pendidikan bahwa seorang anak dari pulau kecil bernama Belitong bisa mewujudkan mimpinya untuk kuliah hingga ke Sorbonne, Prancis.

Kemudian saya berpikir, untuk itulah Tuhan menciptakan surga. Sebagai tempat yang sangat layak untuk mereka yang telah mengorbankan harta dunia dan segala isinya demi idealisme mereka, yang absurd dan tidak dimengerti semua orang tentunya. Tapi tentu Tuhan mengerti akan keikhlasan itu... (Oktober, 2008)

Kamis, 02 Oktober 2008

Man On The Moon


Rating:★★★★★
Category:Movies
Genre: Comedy
“What’s real? What’s not? That’s what I do in my act, test how other people deal with reality.” (Andy Kaufman, 1949 - 1984)

Andy Kaufman bukan seorang komedian. Walau demikian Andy sering membuat orang tertawa saat menjadi karakter Foreign Man (orang asing dari salah satu pulau di Caspia yang tenggelam), Latka (di sitkom Taxi), bahkan ketika menjadi Tony Clifton, alter-ego Andy yang kadang juga diperankan sahabat Andy, Bob Zmuda. Seperti yang dikatakannya, “I never told a joke in my life.” Bagi Andy, “There’s no way to describe what I do. It’s just me.”

Memang dalam hidup seorang Andy Kaufman seakan tidak ada batas antara realitas dengan non-realitas. Semua yang dilakukan Andy dianggap orang lain hanyalah manipulasi untuk kesenangannya “to test how other people deal with reality.”

Maka kemudian semua yang dilakukan Andy dianggap lelucon, akting, dan manipulasi. Seperti halnya ketika Andy benci ketika orang-orang terus memintanya berperan sebagai Latka di suatu pertunjukan, maka Andy membacakan The Great Gatsby karya F. Scott Fitzgerald sepanjang pertunjukan sebagai ekspresi kemarahannya untuk menghukum orang yang dianggap tidak pernah bisa mengerti dirinya. Dan tetap orang menganggapnya sebagai lelucon, yang sangat membosankan.

Tony Clifton sebagai alter-ego Andy merupakan contoh lain masterpiece manipulasi Andy. Awalnya Andy Kaufman dan Bob Zmuda menghadirkan karakter Tony Clifton sebagai bentuk “ekspresi” dari kebosanan Andy yang terlanjur identik dengan Latka. Karena kelak Tony Clifton tetap eksis walaupun Andy telah meninggal karena kanker paru-paru. Dan itu akan membuat orang bertanya-tanya, “Apakah kematiannya dimanipulasi?”

Ya, bahkan orang menganggap kematiannya dimanipulasi. Keluarga Andy pun ragu saat Andy bilang menderita kanker paru-paru, karena selama hidupnya Andy tidak pernah merokok, minum alkohol berlebihan, bahkan dikenal sebagai vegetarian. Bahkan adiknya, Carol, melihat keanehan: Dokter Andy memakai sepatu tenis saat bekerja di Rumah Sakit. Hal yang membuatnya berpikir dokter itu merupakan seorang aktor yang menjalankan manipulasi Andy. Andy pernah mengatakan akan ‘mematikan’ diri, lalu hidup lagi 20 tahun kemudian. Namun pada 16 Mei 2004, saat teman-temannya mengadakan pesta “Selamat Datang” untuknya, Andy tidak pernah muncul.

Andy.. Andy.. Andy.. Bahkan REM pun membuat sebuah lagu untuknya… Man On The Moon. Karena Andy berhasil membuat orang bertanya-tanya akan mana yang realitas, mana yang tidak. Sama seperti realita apakah manusia pernah mendarat di bulan, yang diragukan banyak orang hingga sekarang. Dari Andy Kaufman, manusia mungkin harus sering berpikir akan apa yang real, dan apa yang dikonstruksikan. Hingga tidak terjebak akan kemasan luar seseorang, atau sekelompok orang. (September, 2008)

Jumat, 19 September 2008

Meracau


1.
di dunia hamba, tak ada lagi
terang, Tuhan;
semua gelap
bahkan hamba lupa
seperti apa terang
silaukah, Tuhan?

2.
hamba penat,
hamba pekat,

hamba sesat
Engkau terang,
Engkau cerlang,
Engkau benderang
mungkinkah gelap bersatu terang?
juli, 2006

Senin, 11 Agustus 2008

Dongeng 2: Mario Bros

Mario berdiri menatap lanskap di hadapannya: ribuan pipa, ribuan jamur, ribuan koin emas yang tergantung sempurna di awan, bintang, tiang bendera, dan kastil batu-bata. “Ahh, bukankah hidup hanyalah sekumpulan de javu,” desahnya resah.

Atau mungkin hidup adalah sekumpulan fragmen dari hasil penelusuran menjelajah pipa-pipa yang tak tentu arah. Kadang menuju negeri gelap gulita. Atau negeri terik yang mataharinya menyengat, bagai menjatuhkan landak di atas kepala.

Maka terus ditelusurinya tapak jalan itu, yang entah menuju ke mana: King Koopa? Entahlah, mungkin monster buaya hijau menyeramkan itu hanya mitos. Ribuan buaya telah dibunuhnya, namun tidak satu pun bernama Koopa, yang menawan seorang putri raja.

“Mungkin memang tidak ada King Koopa,” pikirnya.

Apa arti dunia tanpa musuh abadi yang sulit untuk dikalahkan. Jika demikian, mungkin tidak akan ada keyakinan: Akan setan, iblis, atau dajjal yang harus dikalahkan.

Bagaimanapun masa depan sama menyeramkannya dengan King Koopa. Monster menakutkan yang menjarah dan menjelajah setiap jengkal keluguan masa kanak-kanak.

Membunuh setiap peri gigi, kurcaci, juga Sinterklas.

“Lalu di mana putri yang tertawan?” tanyanya.

Pikirannya makin gelisah. Jangan-jangan seluruh isi dunia berkonspirasi. Membuat cerita yang sama: Sebuah konstruksi akan cinta yang sempurna. Seperti Prince Charming yang membebaskan putri raja dari cengkraman naga.

Mario semakin resah, menatap de javu di hadapannya: ribuan pipa, jamur, bintang, koin-koin emas yang tergantung sempurna di awan, tiang bendera, dan kastil batu-bata. “Ahh, alangkah bahagia apabila sebuah tulisan ‘Game Over’ segera mengakhiri petualangan ini,” harapnya, entah kepada siapa.

Juni, 2008

Senin, 04 Agustus 2008

Benci Purnama

Pada akhirnya
Batara Kala pun datang
untuk menelan purnama

agustus, 2008

Kamis, 31 Juli 2008

Dongeng 1: Serigala Jahat, Camelot, dan Kuda Troya

Di duniamu aku adalah Serigala Jahat. Selalu berusaha
menghancurkan rumah yang kau bangun susah payah:
Dari jerami hingga kayu jati. Pfiuuuuhh....
Maka robohlah dalam sekali tiup.

Lalu dengan kalap kau bangun kastil: Dengan tembok
benteng tebal dan parit dalam di sekeliling.
Kokoh bagaikan Camelot.

Di duniamu, setiap perhatian yang datang mengetuk
pintumu terselubung pamrih:
Layaknya nenek sihir yang menawarkan
racun di balik ranumnya apel, untuk memperdayai
Snow White

Di duniamu, setiap persembahan yang ditujukan
kepadamu
adalah Kuda Troya: Manipulatif.
Hanya strategi menguasai pertahananmu
yang terlihat kuat, namun sesungguhnya rapuh

Namun puan,
adakah gerbang terbuka menuju
Camelot-mu?
Adakah jalan
menuju Troya-mu?

2008

Rabu, 28 Mei 2008

Kuatkan Kesaksian Hamba dalam Keraguan

Tuhan, seorang anak belasan tahun mati gantung diri dan memotong urat nadi tangannya kemarin. Hanya karena bapaknya tidak mampu membiayainya untuk melanjutkan sekolah. Bapaknya hanya Hansip, Tuhan. Penghasilannya pun mengandalkan kebaikan orang yang mobilnya dijaga saat parkir. Ketika harga-harga makin tinggi, wajar kalau sang bapak tidak mampu memenuhi permintaan anaknya, yang kemudian memilih mati.

Tapi Tuhan, di lain pihak, ada juga orang yang tidak terpengaruh dengan kenaikan harga BBM dan barang-barang. Paling-paling mereka hanya mengurangi jam kunjungan ke rumah bordil. Atau mengurangi jatah botol Jack D tiap minggu.

Bahkan Tuhan, seorang Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat di negeri ini makin kaya karena saham Bumi, perusahaan milik keluarganya, tetap stabil di saat negeri makin susah. Di saat ada orang bunuh diri karena tidak mampu melanjutkan sekolah.

Adilkah Engkau,Tuhan...?
Akankah Engkau tetap bertanya: "Benarkah aku Tuhanmu?" di tengah keraguan banyak orang akan adil-Mu?

Dan Tuhan, hamba pun masih menjawab:
"Qollu bala Syahidna, saya masih bersaksi akan-Mu..."

Walau hamba masih sering bertanya-tanya akan adil-Mu,
Kuatkan hamba...

Minggu, 18 Mei 2008

Aku Nobita, Kamu Shizuka

Aku hanyalah bocah bodoh
yang terus memimpikanmu
mendampingi hidupku;
walau ada sedikit kepuasan hati
merasakanmu memberiku dorongan,
semangat, dan dukungan di saat aku jatuh;
melihatmu mengulurkan tangan
padaku
di saat yang lain menertawakanku

Aku takut tak dapat menjadi
pahlawanmu
sedangkan kamu tahu aku selalu lari
dari setiap masalah yang kuhadapi

Aku penakut...
Aku pengecut...
Aku lemah

Aku ingin kamu terus menemaniku
terbang ke awan
dengan baling-baling bambu

september, 2002

Sabtu, 03 Mei 2008

May Day! (2)

Sebuah peradaban besar dunia seringkali ditandai dengan adanya suatu bangunan adikarya yang menjadi masterpiece. Banyak orang menyebutnya sebagai keajaiban dunia atau wonders. Tapi seringkali wonders tersebut identik dengan raja, penguasa, dan dinasti pembuatnya. Dan melupakan jutaan buruh yang membangunnya: Yang rata-rata berusia hanya hingga 30 tahun, atau mungkin bekerja sepanjang hari dan malam tanpa upah, dengan status budak.

Mesir Kuno memiliki Piramid. Salah satunya merupakan piramid agung di Giza, yang dibangun sekitar 5000 tahun yang lalu. Konon piramid ini bisa terlihat dari bulan. Selain memiliki fisik mengagumkan, piramid Giza juga membuat kagum para ahli arkeologi karena akurasi ordinasinya yang mengacu pada rasi bintang Orion. Juga karena kerumitan bentuk ruang di dalamnya, dengan banyak ruang rahasia dan diindikasi penuh harta karun. Walau demikian, Piramid tetap identik dengan Pharaoh (Firaun), dan terlupakan pula jasa jutaan buruh yang membangunnya selama tiga dasawarsa.

China memiliki Tembok Besar yang membentang sepanjang 6.700 kilometer. Tembok yang katanya bisa dilihat dari bulan tersebut dibangun sebagai pertahanan terhadap musuh yang datang dari utara. Tembok ini dibangun oleh beberapa dinasti dari sekitar abad 5 SM hingga abad ke 16. Tapi yang dikenang adalah Kaisar Qin Shihuang sebagai pemrakarsa dalam pembangunan tembok secara masif pada 220 SM. Maka terlupakanlah jasa 2 hingga 3 juta buruh yang mati dalam pembangunannya.

Hal ini mencetuskan pertanyaan menarik: Ketika peran buruh sering terlupakan, apakah peradaban merupakan manifestasi ego penguasa? Apakah peradaban adalah wujud dari megalomaniak seorang raja yang ingin memperlihatkan kebesarannya? Atau mungkin sekedar membuat bangunan indah untuk mendiang istrinya?

Namun kemudian sejarah mencatat bahwa para buruh melakukan perlawanan ketika peran mereka terlupakan. Para buruh menolak untuk bekerja selama 19 – 20 jam perhari dengan upah yang sangat minim.
Kemudian pada tanggal 1 Mei 1886 sekitar 400.000 buruh di Amerika Serikat mengadakan demo besar-besaran selama empat hari di Chicago. Demo itu kemudian berujung pada penangkapan dan penembakan terhadap para aktifis buruh, yang kemudian dikenal sebagai insiden Haymarket. Untuk memperingati insiden Haymarket, para buruh kemudian menjadikan 1 Mei sebagai Hari Buruh International, yang lebih populer disebut May Day.

Mungkin May Day merupakan sebuah momentum yang mengingatkan manusia. Bahwa peradaban (yang dibangun dari cipta, rasa, dan karsa manusia) idealnya menghargai setiap lapisan masyarakat. Peradaban bukanlah manifestasi individualisme sekelompok manusia untuk mengeksploitasi manusia yang lain. Walau sejarah pernah mencatat bahwa eksploitasi dan ekspansi pernah menjadi bagian dari peradaban di masa lalu, bukan sebuah dosa untuk berharap terciptanya peradaban masa depan yang lebih baik.

Sabtu, 12 April 2008

Meracau Tentang Suatu Masa di (Fakultas) Sastra

Entah kenapa gw kangen banget kampus. Bukan kuliah, tp dunia lain selepas kuliah..

Gw kangen nongkrong di payung bareng anak-anak sempalan. Sembari sumpah serapah tentang RKA dan Cecep. Haha, yang kita peduli hanya skripsi. Waktu itu siapa peduli sama hidup setelah lulus: Bahwa nanti ada tuntutan hidup bernama pekerjaan, nikah, atau apapun itu. Dan siapa peduli bahwa ijazah lulusan Arkeologi ternyata ga laku kayak kacang goreng, atau jurusan pasaran laen. Bahkan sampe ada yang ditanya, "emang di museum ga ada pekerjaan?" Hehehe, bahkan gw inget waktu Anton bilang: "jarak gw sama masa depan sebenarnya tinggal segni (nunjuk satu ruas kelingking). tapi penghalangnya cuma Cecep!" HAH!! Sial, Ton! Ternyata, satu ruas kelingking itu terasa seperti selamanya...

Gw juga kangen ngobrol2 sama Ade Irfan. Ngobrolin hal ga jelas: Bahkan obrolan selangkangan pun pake ngutip Freud atau Saussure segala! Hahaha... Btw, pa kabar loe, Fan? Obrolan gw sekarang kering Fan! Gw tau kalo kadang2 kita masih berpikir kayak dulu: "ga ada guna juga baca banyak buku kalo ga ada duit!" Dan itu, sekarang rutinitas gw hanya berdasarkan materi, cari duit. Intelektualitas gw jadi impoten. Persetan kalau yang kita lakukan dulu cuma Orgasme Pikiran. Setidaknya ga jadi robot yang bergerak karena mekanisme rutinitas semata. Walau begitu, tetep aja Fan: Gw benci Filsafat. Atau orang yang merasa pintar ketika baru kenal filsafat. Tapi, lo juga tau kan, Fan, kalo gw benci banyak hal...

Haha... Uswah, Swasti, Pras... Apa kabar Ekspresi! Mati di tangan Diero y?! Sial, padahal betapa kerja kerasnya kita mengumpulkan uang, untuk menghidupkan media ga jelas yang mati berulang kali. Haha, sial, gara2 ekspresi jg gw terjebak di dunia beginian: tulis menulis yang ga tau untuk apa, untuk siapa, selain pencaharian semata. HAH, sial, Wah. Ternyata Tempo ga seindah bayangan gw waktu kuliah: Merintis jalan menuju kesuksesan Jurnalisme Sastrawi. Hmm... Entahlah, ga mau jg gw berpikir sepesimis itu. Mungkin ada benernya omongan Swasti, alumni UI ga punya endurance. Baru digoyang sedikit ud males. Hahaha... Btw, emang kalo kita bertiga kumpul pernah menghasilkan pembicaraan positif?! Bukannya negatif mlulu: Ngarep lah, Nyela lah, Au ah! Toh kita bertiga pernah merasakan pahitnya jadi pihak yang rejected!

Hehehe... Apa kabar Komunitas Payung: Masih inget kah kalau kita dulu bermimpi membuat antologi: puisi, atau apalah dari dunia antah berantah. Ternyata lebih enak bermimpi, ya. Daripada mengusahakan. Abis gimana, dunia sastra adalah dunia positioning. Dan apakah gw atau kalian bersedia memposisikan diri?! Yang pasti gw ogah! Ahh, Persetan Utan Kayu, persetan DKJ, persetan Taufik Ismail, persetan semua yang sok paling mensastra! Ternyata lebih enak jadi jin perpust, ya... Berisik di perpust sambil godain orang pacaran: Ya iyalah, emang perpust tempat pacaran?! Tapi tetep aja, hobi gw adalah ngumpet di salah satu ujung rak waktu ujan deres di luar... Kenalan sama Afrizal Malna sang arsitek hujan, sambil disumpahserapahi Eros kayak Chairil! Hahaha.. Lagipula gw mulai sadar: GW GA BAKAT JADI PENULIS! TULISAN GW SAMPAH! Mending jadi PNS aj...

Monyong, tiba-tiba teringat Tiara (Imaginary Name!). Masih teringat akan tatapnya di payung itu! Atau waktu di perpust. Ah, sia-sia gw buang waktu bertahun-tahun demi dia, 'cinta'. Cinta who? Laura?! HAH! Mungkin emang ga ada cinta. Yang ada cuma konsepsi semata. Setidaknya karena motto hidup gw bukan Coitus Ergo Sum. Tapi setidaknya mereka yang ber-Coitus Ergo Sum tidak membuang waktu demi hal absurd bernama cinta. Cukup 210 ribu bisa setubuhi wanita cantik di Griya Sehat: Primadona asal Purbalingga dengan nomor foto 28! Astaghfirullah... Hina banget gw kalo sampai ngebuang 'hidup' gw ke dalam lembah zina. Makanya, gw cukup menjadikan cinta sebagai konsepsi semata! Tai kucing! Koq ketika nulis ini gw masih merasa 'kosong' ya? AH sebodo teuing!

Intinya, gw makin absurd aja dengan semuanya.. I miss my salad days! When i was green in judgement! When i was green in dream...

Rabu, 20 Februari 2008

How Do I Love Thee? (Elizabeth Barrett Browning)


Rating:★★★★
Category:Other
How do I love thee? Let me count the ways.
I love thee to the depth and breadth and height
My soul can reach, when feeling out of sight
For the Ends of Being and ideal Grace.
I love thee to the level of everyday's
Most quiet need, by sun and candle-light.
I love thee freely, as men strive for Right;
I love thee purely, as they turn from Praise.
I love thee with the passion put to use
in my old griefs, and with my childhood's faith.
I love thee with a love I seemed to lose
With my lost saints,--I love thee with the breath,
smiles, tears, of all my life!-and, if God choose,
I shall but love thee better after death.

[Puisi yang ngingetin akan masa lalu. Manis... Bikin ngarep... Cukup populer, karena gw sering denger juga di beberapa film, lupa judulnya apa aja.]

Sabtu, 16 Februari 2008

........ | ...---... | ........

    Kebetulan saja hari itu 14 Februari (jadi ingat tulisan seorang teman). Beberapa sibuk dengan urusan melankoli merah jambu.. Tapi puan, apa lagi makna melankoli itu bagiku. Sedangkan saat itu, di suatu gedung di kuningan, yang katanya 'markas pemberantas tikus' itu, aku berkutat dengan banyak pikiran: Bahwa tidak ada lagi yang bisa dipercaya di negeri ini.
    Benar, puan. Di depan markas 'mice buster' itu, aku seakan menjadi bagian dari  skenario besar sandiwara negeri ini: Mengabarkan orang akan hal tak penting. Beberapa orang diperiksa, namun hanya tikus-tikus kecil yang ditahan.
    Andai puan bisa melihat wajah sendu tikus-tikus kecil yang dikorbankan: Pucat-pasi, terdiam-kaku, dengan sorot mata pasrah yang mengharapkan belas kasihan. Apa yang sedang dilakukan tikus-tikus besar saat itu: Sibuk koordinasi di Senayan? Ataukah memang benar sedang merencanakan skenario besar lain di Darmawangsa? Terlibatkah para pemberantas tikus dalam skenario besar itu? Entahlah, puan. Lebih baik aku gila karena memikirkanmu, dibanding gila karena itu.
    Bukan, puan. Aku bukan politisi, pengamat politik, apalagi ideolog yang menginginkan banyak hal untuk negeri. Jiwa ini terlalu rapuh untuk memimpikan sebuah negeri yang merdeka 100%, seperti yang dipikirkan Tan Malaka. Hati ini juga terlalu rapuh untuk sekedar mengucapkan harapan akan sebuah negeri yang adil dan makmur. Bukankah itu tujuan pendiri bangsa ini dalam memperjuangkan sebuah kemerdekaan? Terlalu lelah aku mendengar itu, puan.
    Mungkin bukan hanya aku yang lelah karena itu. Tapi, puan, kemudian mereka mereka menciptakan sebuah pelarian: Seperti Thomas More yang kemudian 'menciptakan' Utopia. Atau J. M. Barrie yang menghadirkan Neverland. Bahkan beberapa benak berharap konstruksi negara ideal ala Madinah zaman Rasulullah pun bisa kembali tercipta. Aahhh, cukup puan yang membuatku lelah dalam berkonstruksi....
    Lebih parah, bahkan aku tidak tahu lagi apa yang aku inginkan, puan. Jika memang benar kalau ingin adalah sumber penderitaan, cukup menginginkan puan sajalah penderitaan itu berasal. Tapi adakah rasa cukup manusia terhadap ingin? Zuhud terhadap hasrat?
     Aku lelah, puan. Dengan segala hal yang terus berkecamuk tanpa henti, dalam benak atau dalam hati. Skeptis: Tanpa kepercayaan, tanpa keinginan. Benar, puan. Puan hadir saat kepercayaan dan keinginan itu masih ada. Jadi mungkin aku lebih merindukan masa-masa itu, bukan semata kehadiranmu.
     Kebetulan saja malam itu 14 Februari. Namun entah kenapa, aku jadi teringat satu bait dari sebuah lagu, malam itu. Dan ini mengingatkanku akan kamu, puan.

you are my compass star
you are my measure
you are my pirate's map
of buried treasure...

(Sting: Ghost Story, Brand New Day, 1999)

Selasa, 12 Februari 2008

Siapa Berani Kudeta "Caping"-nya GM?!

Itu tadi tantangan: Karena sejak beberapa kali Majalah Tempo ganti Pemred, belum ada satupun yang kudeta halaman "Catatan Pinggir"-nya Goenawan Muhamad.

Terus terang gw salah satu penggemar "Caping". Sebagai sebuah esai, GM bisa membawakan hal-hal berat dalam bahasa 'cukup' ringan. Pun dengan berbagai analagi yang menarik, kontemplatif, juga terlihat wawasan luas GM akan buku-buku yang dia baca.

Tapi kelamaan Gm terlihat emosional di Caping. Beda sama waktu GM berbeda pendapat sama Pram, misalnya, yang lebih bersifat perenungan. Sekarang GM lebih menggebu-gebu dalam permusuhannya dengan Islam Fundamentalis, MUI, bahkan juru sensor. Bayangin, juru sensor juga diserang. Padahal pihak yang dianggap bermasalah sama GM itu Lembaga Sensor Film, secara institusi, bukan juru sensor secara personal.

Tapi, udahlah. Ngga penting. Yang penting buat gw: Kapan ya ada Pemimpin Redaksi Majalah Tempo yang berani menggusur halaman "Caping" dengan halaman yang khusus ditulis Pemred. Karena gw yakin para pemred itu, dan akan datang, juga punya tulisan yang bagus.

*Para oposisi dominasi itu ternyata lupa kalau ada dominasi lain yang melingkupinya....*

Kamis, 31 Januari 2008

................



"i'm running out of time i'm out of step and
closing down and never sleep for wanting hours
the empty hours of greed and uselessly always
the need to feel again the real belief of
something more than mockery if only i could
fill my heart with love"

The Cure
(Closedown)


suatu malam [pada lima tahun yang lalu]... teringat indahnya tatapmu yang menatap dingin langit di atas Cirebon. [ya, Cirebon, bukan Paris, atau London]

[Masih terjebak dalam fananya waktu...] Tapi apalah arti waktu.. "yang fana adalah waktu, bukan" [sdd] tanpa jenuh aku terus menggunakan kutipan syair itu.. seperti apakah kefanaan?

[apakah seperti orgasme hidung belang setelah menggagahi penjaja nafsu. catat: nafsu, bukan cinta. karena mungkin tidak ada cinta. lalu apa yang membuatku fatalis berharap akanmu?]

[apakah kecantikanmu juga fana? begitu pula dengan tatapmu? yang tajam menyeruak, menerawang, memandangi gerimis di Caringin itu?]

pada suatu ketika, terucap kata dari bibirmu, yang melalui untaian kawat kabel Telkom, lalu menghujam tepat di jantungku:
"penting ya, jadi cantik?!"
ahhh, puan... andai saja kau tahu cantikmu yang fana itu menaklukkan beberapa hati tuan. yang untungnya menjadi mati karena dinginmu.

yang untungnya bukan aku yang mengatakan mencintaimu karena kamu cantik. karena puan, berjuta bintang di langit juga cantik. bagitu pula dengan lembayung senja. tapi tak menjadikan satu tuan pun gila hingga takluk. seperti takluk di hadapmu. mengapa dia tidak bersimpuh ingin selalu bersama lembayung senja, atau langit berbintang. tapi ingin selalu bersamamu. apa karena tatapmu lebih indah dari lembayung itu? atau apa karena dia tidak bisa mensetubuhi indahnya langit malam? karena cintakah orang rela untuk mengikat janji untuk kemudian disetubuhi...? ahh.. pasti ada alasan yang lebih dari itu. mari kita coba cari tahu..

[entah kenapa aku lebih menghargai orang yang menikah karena alasan yang lebih transenden: tuntutan dakwah, manhaj para nabi... ahhh... andai saja aku bisa mencintaimu karenaNya. bukan karena cantikmu, atau tatapmu, atau mungkin anumu... tapi tidak.. bahkan aku tidak pernah memiliki fantasi apapun tentangmu. bukan berarti tidak bisa bernafsu akanmu, tapi ada yang lebih bergetar selain anuku... hanya saja kamu tidak pernah mau tahu: hatiku!]

lagipula puan, aku tak percaya cinta. bukan.. bukannya tak percaya. katakan saja belum. karena terlalu rumit semiotika itu. maukah kau mengajarkan itu: tak perlu rumus-rumus rumit itu, puan.

puan, kefanaan apakah yang terasa begitu abadi:
merekonstruksi wajahmu. juga perasaanku akanmu.
adalah sebuah keanehan apabila orang yang tidak percaya cinta seperti aku, terus memiliki perasaan kepada seseorang yang dingin seperti kamu, puan...

[aaahhhhhh... entah apa makna kata tulisan ini. racauan. yang pasti tidak akan pernah terbaca (ya, terbaca.. bukan dibaca) olehmu...

*if only i could fill my heart with love*

gajelasgajelasgajelasgajelasgajelasgajelasgajelasgajelas
gajelasgajelasgajelasgajelasgajelasgajelasgajelasgajelas
gajelasgajelasgajelasgajelasgajelasgajelasgajelasgajelas

Senin, 28 Januari 2008

For Smiling General

Ketika tujuh langkah kaki terakhir iringan upacara kenegaraan berakhir: Keluarga Cendana, SBY, JK, kroni, kerabat, dan utusan negara sahabat meninggalkanmu sendiri. Kemudian datang Munkar dan Nakir....

Masihkah kau tersenyum, Jendral?

Ingatkah kau dengan ribuan orang yang kau tindas:
yang tanahnya kau rampas untuk kepentinganmu sebagai Bapak Pembangunan,
yang bapak atau ibunya dibunuh untuk mempertahankan kekuasaanmu,
yang anaknya kau renggut dari pelukan orang tua karena mengkritik kebijakanmu,
yang masa depannya kau hancurkan karena cap Komunis atau Islam Ekstrimis.

Mungkin karena itulah Tuhan menciptakan surga dan neraka. Sebagai tempat pengadilan sebenarnya. Dan tak akan ada hakim yang bisa dibunuh atas pesanan putra bungsumu. Dan tak akan ada jaksa yang bisa disuap oleh kroni-kronimu.

Maaf, Jendral. Sekali lagi maaf. Kami juga sudah memaafkan Jendral. Namun memaafkan bukan berarti melupakan. Memaafkan berarti menyerahkan keadilan kepadaNYA. Terlalu banyak jiwa yang tertindas akibat kekuasaanmu, Jendral.. Semoga NYA juga memberikan qishos setimpal atas perbuatan yang kau lakukan.

Karena apabila tidak, NYA tidak layak untuk disembah. NYA tidak benar-benar mendengarkan doa hambanya yang terzholimi. Yang mati: karena mempertahankan haknya yang dirampas; atau karena menolak tunduk terhadap burung thogut yang membawa lima sila;

Maaf, Jendral. Tulisan ini bukan karena tendesi kebencian akanmu. Hanya saja, kami tidak ingin martir-martir kami, syuhada-syuhada kami, mati dengan sia-sia.

Begitu pula dengan korban Petrus (Penembakan Misterius): orang-orang yang dianggap jahat oleh pemerintahanmu, tetapi mereka juga punya hak untuk hidup. Dan Jendral, kau bukanlah orang yang berhak atas nyawa siapapun, sebanyak apapun catatan kriminal orang tersebut.

Selamat menempuh persidangan, Jendral... Apapun yang NYA putuskan, kami ikhlas!


dari mantan rakyatmu

Sabtu, 26 Januari 2008

Munir dan Garuda (Sebuah Ironi Menyedihkan)

     Ada adegan menyedihkan yang terdapat di sebuah film dokumenter tentang Munir. Jadi sewaktu itu Suciwati, istri Munir, bertanya ke suaminya: "Mas, kenapa kok milih Garuda? Firasat saya kok enggak enak. Kenapa ngga naik yang lain aja?"
    Kemudian Munir menjelaskan. "Saya ini naik Garuda bukannya kenapa-kenapa. Karena gimana pun juga Garuda itu kan punya Pemerintah. Jadi duitnya ke rakyat juga. Dibanding saya naik yang lain (Singapore Airlines, Luthfansa, dll).."
    Tapi... Ternyata eh ternyata... Dalam perjalanan ke Belanda itulah Munir meninggal. Diracun Arsenik.
    Hidup itu memang seringkali lucu, ya?! Sering kita punya idealisme: demi rakyat, demi bangsa, demi agama, demi-demi lainnya (ngga termasuk demi moore, demi persik, atau demi sandra, btw, sandra demi *dewi maksudnya* cantik juga, ya kan?!) Ironis kalau ternyata idealisme itu yang membunuh kita.
    Sekedar catatan, mungkin kata "Garuda membunuh" adalah sebuah kontroversi. Tapi beberapa fakta persidangan bilang kalau ada beberapa orang Garuda terlibat: antara lain sang pilot Pollycarpus, dan sang Dirut Indra Setiawan. Beberapa juga mengaitkan kematian misterius Baharuddin Lopa di Arab Saudi setelah perjalanan dengan Garuda(?).
    Arrrrrgggggghhhhhhhhhhhhh..... Gw BENCI POLITIK! KOTOR! LUMPUR! NISTA!

*Renungan sepulang nongkrongin rumah Polly yang akhirnya divonis 20 tahun penjara. Sayangnya, gw masih merasa Polly sekedar tumbal. ngga ada orang BIN (bukan instansi intelejen sebenarnya) yang ditangkap.*

Kamis, 10 Januari 2008

Doa Seorang Reporter untuk Soeharto

Tuhan...

Kalau Kau berniat mengambil nyawa Soeharto, tolong jangan diambil pas weekend ya. Saya ingin menikmati liburan, Tuhan. Kalau bisa cabut nyawa Soeharto hari Selasa aja. Jadi kita sibuk dari Selasa sampai Jumat aja. Dan Tuhan, please... Jangan ambil nyawa Soeharto antara tanggal 18 - 20 Januari, ya. Saya udah ada rencana liburan brg temen2 kampus dulu.

Tuhan, tolong bilangin keluarga Soeharto dong... Pemakaman diadakan secara sederhana aja. Jadi kita ga perlu sibuk m'hubungin banyak pihak yang terkait dengan pemakaman. Trus kalo bisa dikuburnya di Kalibata aja. Soalnya parkirnya agak gede. Jadi kan motor saya bisa diparkir secara aman.

Tuhan, tolong bilangin keluarga Soeharto juga dong... Kalo bisa, setelah Soeharto meninggal, mereka jadi Muhammadiyah aja. Jadi ga akan pake acara selametan segala. (tapi jangan deh, ntar mba Tutut malah dipasangin brg Din Syamsuddin di 2009) Kan kasihan para reporter kalo sampe begadang cuma karena selametannya Harto. Atau sekalian jadi Jamaah Tabligh jg gpp. Siapa tau mereka tiba-tiba zuhud banget, dan hartanya dibagi ke rakyat miskin.

Tapi Tuhan, apabila Kau berkehendak menyembuhkan HMS, tolong jangan lama-lama, ya.. Jangan cabut nyawa HMS juga pas Piala Eropa. Kasian kami dong para pecinta bola. Nanti yg ada siaran live-nya cuma pemakaman Eyang..

Terima kasih, Tuhan...

HambaMu,
Reporter Kere