Pages

Jumat, 20 November 2009

Siapa Butuh Hukum

Mungkin, manusia tidak pernah membutuhkan hukum.. Apalagi bertujuan terciptanya supremasi hukum!

Karena yang dibutuhkan manusia hanyalah keteraturan. Sesuatu yang sulit dilakukan, karena secara fitrah manusia memiliki perbedaan: dari cara berpikir hingga bertindak.

Karena itulah hukum dibuat. Sebagai pemersatu atas segala segala perbedaan. Lebih tepatnya disebut sebagai sebuah kompromi, atau konsensus, demi terciptanya sebuah keteraturan.

Tapi, apakah hukum benar-benar menciptakan keteraturan? Apa yang dimaksud keteraturan di sini? Keteraturan yang dipaksakan? Atau keteraturan yang lahir dari kesadaran?

Secara historis, hukum kemudian bermetamorfosis. Bukan lagi sebuah kompromi dengan tujuan keteraturan, yang dilahirkan dari kesadaran. Tapi hukum hanya menciptakan sebuah keteraturan yang dipaksakan! Karena itu lahir turunan hukum: dari produk hukum, sampai penegak hukum.

Sampai di titik ini, saya sulit mempercayai hukum dibuat demi keteraturan masyarakat. Tapi berkembang sebagai sebuah alat untuk mengatur masyarakat.

Jika pada awalnya hukum dibuat untuk menghindari dominasi suatu kelompok atas kelompok lain, hukum malah bisa menjadi legitimasi dominasi suatu kelompok terhadap kelompok lain.

Suatu produk hukum seperti Undang-Undang misalnya, bisa diutak atik menjadi sebuah legitimasi kekuasaan suatu rezim. Sah untuk membungkam kritik di masyarakat. Sah untuk tiap persekongkolan jahat yang dilakukan. Jika melawan, ada aparat hukum yang siap menindak setiap pelanggar.

Tapi, konstruksi yang dibentuk, sanksi hukum dibuat untuk memenuhi rasa keadilan, bla, bla, bla.. Masalahnya, siapa yang bisa memenuhi rasa keadilan? Bukankah manusia memelihara konsep adanya tuhan, juga surga/neraka, karena tidak bisa menemukan keadilan di dunia.

Ahh, entahlah.. Jadi siapa membutuhkan hukum? Masyarakat? Atau rezim (pengatur masyarakat)?

NB: percayalah, saya bukan seorang anarki sindikalis. ini hanya sebuah pertanyaan. entah retoris atau bukan...

Selasa, 03 November 2009

kepada waktu

kepada waktu,
haruskah kita berserah?

seperti daun, yang menguning layu;
seperti kulit, yang kerut mengeriput;
seperti rasa, yang perlahan mengelupa;
seperti asa, yang teranggas usia;

kepada waktu,
terseruak tanya tanpa tanda:
entah ke mana akan bermuara,
entah seperti apa akan menjelma

november, 2009