Pages

Senin, 19 April 2010

Hitam di Langit Koja, 14 April 2010

Saya yakin, saat itu saya sedang tidak berada di Tikrit atau Gaza. Tapi dentuman terdengar dari segala penjuru. Langit menghitam oleh asap dari kendaraan yang dibakar. Sore itu, saya ada di Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara, 14 April 2010.

Saat itu, amarah jelas terpancar di banyak wajah: Bahkan dengan senjata tajam yang siap terhunus. Selain amarah, terlihat pula wajah pucat ribuan anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).

Sebelumnya, ribuan wajah itu terlihat garang menyerang massa yang berkumpul di makam Habib Hassan al Haddad, yang dikenal juga dengan sebutan Mbah Priok. Namun, ketika terjepit, terkepung, dan tersudut, pucat merupakan ekspresi wajar manusia menghadapi kematian.

Siang itu, lima tubuh Satpol PP dalam keadaan tak berdaya ikut saya gotong ke pinggiran. Setidaknya, agar tidak terus dipukul, ditikam, habis-habisan.

Dalam keadaan kritis, saya sempat mendengar dari mulut yang tidak berdaya itu terucap: “Ya Allah.. Tolong saya..” Tapi dari massa yang menghajar, saya mendengar nama yang sama disebut: Allah. Entah berpihak kepada siapa Dia saat itu.

Saya ingat, salah satu Satpol PP yang saya gotong, tertera nama W. Soepono di seragamnya. Soepono menjadi salah satu korban tewas bersama Ahmad Tadjuddin dan Israel Jaya. Saya tidak ingat apakah Israel dan Tadjuddin juga saya gotong saat itu.

Entah apa yang saya rasakan saat itu, yang pasti saya sedih ketika membaca sms yang mengabarkan kematian Soepono. Tapi saya kemudian marah ketika mendengar pidato Presiden!

Di Priok, tidak ada polisi saat itu, karena hukum tidak berlaku. Tapi sikap Presiden yang menyalahkan Pemerintah Provinsi dan mengkambing hitamkan media, membuat saya makin prihatin dengan negeri ini.
Allah… Entah kepada siapa kau berpihak saat itu… Sampai kapan kami harus pasrah dengan keadaan negeri ini.

Kami tidak lagi punya pemimpin yang bisa diharapkan untuk mensejahterakan rakyatnya.. Tapi setidaknya, jangan biarkan kami saling benci, apalagi saling membunuh!

Rabu, 14 April 2010

Wartawan Militan

Ini ironis. Ada sebuah percakapan yang dilakukan sekumpulan wartawan yang menunggu sejak pagi hingga tengah malam, tembus dini hari:

"Gue mulai skeptis dengan kata 'wartawan militan'. Jangan-jangan kata 'militan' itu cuma dijadiin 'alat' oleh korporasi," kata salah seorang teman, wartawan situs berita.

"Biar wartawannya ikhlas dibayar murah, tanpa harus menuntut uang lembur..."kata teman yang lain, wartawan surat kabar harian.

*menghela nafas panjang*

Lalu apa yang membuat kami bertahan hingga tengah malam, walau liputan sejak pagi? Mungkin ada perasaan 'takut kebobolan' dan tidak dapat berita bagus? Atau tidak mau kehilangan momen, yang bisa jadi sangat bersejarah di masa mendatang? Atau malah lebih sederhana: takut dimarahi bos di kantor?

Entah..

Anehnya lagi, beberapa saat setelah percakapan itu teman wartawan lain berucap: "Semoga ini tahun terakhir jadi wartawan.."

Hahaha. Ucapan yang (menurut pengakuannya) diucapkan tiap tahun, sejak bertahun-tahun lalu. Tapi tetap saja dia bertahan jadi wartawan.

Atas alasan apa dia bertahan? Entah. Alasan nasib, barangkali..