Pages

Senin, 04 Februari 2019

Soal Identitas, Catatan Keturunan Tionghoa yang Tak Terlihat seperti Orang Tionghoa

SEJAK enam bulan tinggal di Solo, Jawa Tengah, saya selalu bingung setiap dapat pertanyaan: "Mas, aslinya mana?". Bagi beberapa orang, mungkin pertanyaan ini terdengar mudah, yang disusul jawaban merujuk pada suku tertentu.

Namun, ini pertanyaan sulit untuk saya jawab mengingat saya memiliki kesadaran akan akar identitas. Yang pasti, selalu ada yang tertawa saat saya menjawab saya ada keturunan China.

Saya tidak sedang bercanda, tetapi bagi orang yang melihat penampakan fisik, sepertinya wajar jika mereka tertawa. "Cino kok ireng" (China kok hitam)..

Baiklah, untuk lebih mudahnya merunut pertanyaan soal identitas ini, lebih baik dipaparkan seperti ini:

Saya lahir dan besar di Jakarta, tetapi bukan berasal dari suku Betawi. Ibu saya lahir di Yogya, jadi sah saja saya menyebut diri orang Jawa.

Sedangkan, bapak saya lahir di Bandung. Namun, bapak bukan orang Sunda, sebab orangtuanya (kakek saya) mengungsi di masa perang dari Cilacap.

Secara kultur, bapak saya bisa dibilang orang Jawa, tapi dia kemudian besar di Jakarta. Di kota yang masyarakatnya berbaur ini, semua kultur tampaknya sudah melebur.

Namun, secara fisik bapak saya juga terlihat seperti orang Tionghoa. Matanya sipit, kulitnya terang.

Meski terlihat seperti orang Tionghoa, tak ada budaya atau tradisinya yang melekat. Tak pernah ada perayaan Imlek, juga tak pernah menerima angpau atau kue keranjang.

Malahan, sewaktu kecil bapak saya seperti anak kecil lainnya yang dibesarkan di wilayah Manggarai, Jakarta Selatan.

Sebelum sekolah dia berjualan koran bersama kakaknya, pakde saya, di sekitar stasiun. Kadang ikut mandi dan berenang di kali yang sekarang warnanya hitam itu.

Mau lihat fotonya? Coba cari buku Queen of the East (2002) yang ditulis Alwi Shahab. Saat ada bab soal Manggarai, coba cari bocah yang terlihat Tionghoa di salah satu foto. Itu bapak saya.

Mungkin bukan pemandangan aneh saat itu, sekitar 1950-an, melihat anak kecil yang bermata sipit bermain bersama anak lain di perkampungan.

Tak ada yang istimewa juga saat bapak, sebagai muslim, ada dalam barisan saf saat shalat. Karena itu, saya kerap tak habis pikir setiap dengar pernyataan, "Dia China, tapi Muslim kok.." What??

Saya juga heran saat sekarang ini kerap mendengar pernyataan yang anti-Tionghoa atau anti-China. Entah apakah "modernitas" membuat pikiran orang semakin sempit? Atau bisa jadi pikiran yang sempit itu buah dari politisasi agama vs politisasi kebinekaan yang terjadi sejak Pemilu 2014.

Kesadaran identitas

Meski sekarang tak mudah bagi saya untuk menjelaskan soal identitas, tapi saat kecil pertanyaan itu relatif lebih mudah dijawab. Saat itu saya dengan yakin menjawab "saya orang Jawa".

Nama saya terdengar sangat Jawa. Dari wajah pun sudah terlihat Jawa, meskipun mata sedikit tipis.

Beranjak tua, kesadaran identitas itu mulai memudar. Saya tak lagi memandang tradisi orang Jawa sebagai sesuatu yang harus dijalankan. Soal selametan atau ruwatan misalnya, perlahan saya menilainya sebagai hal yang profan, bukan sakral.

Sebagai orang yang berasal dari keluarga besar Nahdliyin, saya ikut memahami ajaran Muhammadiyah, yang memandang selametan bisa saja diganti syukuran. Tapi ini bukan berarti saya secara serampangan menolak semua tradisi Jawa atas nama agama.

Cara memandang tradisi yang perlahan pudar ini juga membuat saya lama-lama merasa asing dengan akar kultural saya sebagai orang Jawa.

Entah disadari atau tidak, bisa jadi ini merupakan realitas masyarakat perkotaan, terutama Jakarta. Sebab, biasanya, suku seseorang baru terlihat saat acara besar, seperti resepsi pernikahan misalnya.

"Oh dia orang Minang. Itu ada hiasan rumah gadang di pelaminan".

"Ternyata dia orang Jawa, ya... Tadi banyak banget upacara yang dijalanin".

Sounds familiar?

Tapi tolong jangan tanya saya soal pernikahan. Pokoknya jangan.

Intinya, saya masih memandang saya sebagai orang Jawa. Di sisi lain, lebih dari tiga dasawarsa berada di Jakarta membuat saya memahami diri saya sebagai "orang Jakarta": hasil pembauran multietnis, multikultur, multibudaya, yang longgar memandang tradisi asal.

Perihal Tionghoa
Nah, mengenai keturunan Tionghoa, kesadaran ini sebenarnya baru muncul sejak usia belasan. Ini bermula pada suatu masa di Jalan Malioboro, saat bapak saya berbasa-basi dengan dua orang turis asing.

Sepasang turis itu berasal dari Hong Kong, dan kebetulan bapak saya beberapa kali ke sana hingga perbincangan pun semakin akrab. Hingga kemudian, salah satu turis bertanya: "Are you Chinese? Because you look like Chinese."

Kisah lain adalah saat saya melihat garis silsilah keluarga besar bapak, yang disebutnya sebagai Keluarga Cilacapan. Dalam silsilah ini ada sejumlah nama tokoh, termasuk KH Saifuddin Zuhri. Ini berarti saya ada garis saudara dengan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan berkerabat dengan Abdurrahman Wahid hehehe.

Ingatan saya samar-samar soal ini. Tapi kalau tidak salah silsilah itu merujuk ke salah satu Sunan dalam Wali Songo, sepertinya Sunan Giri, yang juga ada garis keturunan Tionghoa. Setelah tahu ini, saya pun semakin yakin bahwa bisa jadi memang ada darah Tionghoa juga pada diri saya.

Mengenal silsilah ini menjadi fragmen yang cukup saya ingat sampai sekarang. Sebab, ada istilah dalam bahasa Arab, "Man 'arafa nafsahu, faqad arafa Rabbahu.." Siapa yang mengenal dirinya, maka akan mengenal Tuhannya.

Karena itu, jika ditanya "orang mana?", tentu saya akan menyertakan jawaban bahwa saya ada keturunan Tionghoa, meski selama menjalani hidup tanpa tradisi layaknya orang Tionghoa kebanyakan.

Tentang identitas

Sejarah mencatat bahwa pertumpahan darah besar-besaran bisa disebabkan karena masalah identitas. Betul bahwa identitas dapat menumbuhkan kebencian. Namun, kebencian ini tak sontak datang tiba-tiba.

Kebencian itu diajarkan. Meski saya yakin awal kebencian itu tak muncul semata karena identitas, tapi semata konflik kalangan elite.

Karena itu, seseorang di Suriah, Irak, atau Afghanistan bisa membenci siapa saja orang Amerika dan menyalahkannya atas negaranya yang luluh lantak. Seseorang di Eropa pun dapat membenci siapa saja imigran keturunan Timur Tengah dan menyalahkannya atas berbagai kehancuran akibat teror bom yang melanda.

Meski dapat dipahami, tentu saja kebencian tak dapat ditoleransi. Karena tak semua orang AS bertanggung jawab atas seruan perang yang dicanangkan pemerintahnya. Sama seperti tak semua imigran Timur Tengah bisa disalahkan atas perilaku teror yang dilakukan teroris yang kebetulan berasal dari bangsa yang sama. 

Saya juga memahami bahwa kebencian terhadap etnis Tionghoa di Indonesia disebabkan karena kebijakan politik yang memisahkannya dengan "bangsa Bumiputra". Kebijakan ini ada sejak zaman kolonial, kemudian dipertahankan pada era Orde Baru dengan berbagai aturan diskriminatif, hingga terbentuk jarak yang semakin dalam.

Bagaimana dengan keadaan saat ini? Tentu saja kebencian itu bisa muncul karena politik. Dua kubu yang ada saat ini menciptakan berbagai narasi, termasuk politisasi agama dan politisasi kebinekaan, sehingga jarak yang sempat direkatkan pada era reformasi kembali semakin lebar menganga.

Saya memahami bahwa kebencian bisa muncul karena hal yang tidak kita pahami.

Hal ini diperlihatkan secara apik dalam video yang digarap Ancestry mengenai perjalanan DNA. Lihat videonya di tautan ini.


Ada 67 orang dari berbagai negara, dengan berbagai identitas, yang dipancing untuk mengungkap kebanggaan mereka akan identitasnya, juga kebenciannya terhadap bangsa lain.

Namun, perjalanan DNA memperlihatkan bahwa kebencian dan kebanggaan itu absurd. Sebab, orang Inggris yang mengaku benci Jerman akhirnya syok saat tahu bahwa DNA dia memperlihatkan ada 5 persen keturunan Jerman dan hanya 30 persen berdarah Inggris.

Seorang dari Islandia yang merasa bangsa terbaik, mungkin karena berpikir keturunan Viking, terhenyak saat tahu bahwa ada juga DNA keturunan Eropa Timur, Spanyol, Portugal, Italia, dan Yunani dalam dirinya.

Jika tidak ada darah murni dalam tiap diri manusia, lalu dari mana kebencian itu timbul?

Kebencian itu tentu saja bukan perihal genetik, bukan bawaan identitas. Kebencian itu ditanamkan, hasil internalisasi kita dalam menyerap beragam peristiwa, namun tak pernah ada di diri kita sejak semula.

Dengan berusaha mengetahui akar identitas, sebenarnya saya berupaya untuk mengenali diri saya sendiri.

Dengan mengenali diri sendiri, saya berusaha memahami bahwa jika ada ketidaksukaan, jika ada kebencian, jika ada amarah yang tersimpan, hal itu tidak pernah berasal dari diri sendiri, tapi dari pengalaman buruk yang saya dapat selama hidup. Pengalaman itulah yang seharusnya ditoleransi. (Dengan catatan, jika karena alasan tertentu sulit untuk kita lupakan atau maafkan.)

Melawan kebencian tentu bukan hal mudah. Saya memahami sepenuh hati bahwa benci tak bisa sepenuhnya dihilangkan, karena kita bukan malaikat.

Namun, yang perlu saya tanam ke diri saya sendiri: Jangan sampai kebencian itu menghilangkan fitrah kita sebagai manusia, yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.

Selasa, 29 Desember 2015

Kami Tak Pernah Cengeng dan Bilang, "Ini Senjakala Kami.."

Saat pertama kali membaca tulisan Bre Redana yang berjudul "Inikah Senjakala Kami..", saya teringat kisah tentang Guru Yosen. Jadi Guru Yosen ini adalah karakter di komik Kungfu Boy yang mengajarkan Chinmi jurus kungfu peremuk tulang, yang menjadi andalan. Maaf, saya bukan makhluk adiluhung yang kaya referensi pustaka, jadi sekedar mengambil hikmah dari komik.

Nah, Guru Yosen ini tahu kalau dia memasuki senjakala usia. "Dia ahli kungfu, tentu paling tahu dengan kondisi badannya," begitu kata dokter yang mengabarkan mengenai kesehatan Guru Yosen yang diprediksi tinggal beberapa hari.

Selasa, 31 Maret 2015

Tentang Beda

foto: http://brittonthagard.com

Bicara beda, saya selalu teringat salah satu bagian di buku Stellaluna:


"How can we be so different and feel so much alike?" one asks. "And how can we feel so different and be so much alike?" asks another. 

Bagaimana kita bisa begitu beda, tapi merasakan hal yang begitu sama? Bagaimana kita merasakan hal yang begitu beda, tapi bisa begitu sama? 

Jumat, 23 Januari 2015

LSD dan Halusinasi Politik Menyikapi Pergantian Kepala Polisi

Foto: Yellow Submarine | United Artist

Saat pertama kali mendengar kata "LSD", entah kenapa pikiran saya selalu mengarah ke lagu legendaris milik The Beatles, "Lucy in the Sky With Diamonds". Padahal LSD yang dianggap selawas The Beatles baru muncul lagi di berita pengendara Outlander gila yang menewaskan banyak nyawa di Arteri Pondok Indah. Kabarnya, sang pengendara sempat mengonsumsi obat-obatan itu sebelum peristiwa berdarah itu terjadi.

Lalu apa kaitan LSD dengan "Lucy in the Sky with Diamonds"? Entah siapa yang pertama kali memulai, tapi lagu itu sering kali dianggap cara John Lennon untuk menuliskan apa yang dirasakannya saat mengonsumsi LSD. Dan LSD dianggap singkatan dari Lucy in the Sky with Diamonds.

Kamis, 29 Mei 2014

Crowdsourcing dan Pemberdayaan Kerumunan di Jagat Maya

Foto: technorati.com

Jeff Howe haqqul yaqin dengan kekuatan internet. Sebagai seorang pengamat industri digital dan kontributor untuk majalah teknologi sekeren Wired, Howe tentu tak awam dengan cepatnya perkembangan digital di era internet yang mulai mengoptimalkan peran pengguna. Gejalanya memang terlihat dengan berkembangnya situs berbasis user generated content, dengan platform yang memungkinkan para pengguna berperan aktif sebagai pengisi konten.

Sabtu, 10 Mei 2014

Doxing dan Pelanggaran Privasi di Dunia Maya

foto: wonderhowto.com

Bagi aktivis dunia maya, Satoshi Nakamoto identik dengan tanda-tanya. Namanya mulai dibicarakan di 2009, sejak memperkenalkan Bitcoin, platform mata uang digital yang kini sudah digunakan untuk transaksi di internet. Tapi tidak ada satu orang pun yang tahu identitasnya. Sosoknya gelap. Nama Satoshi Nakamoto diduga sebagai alter-ego seseorang atau sekelompok orang pencipta Bitcoin yang tak ingin diketahui asal-usulnya. Seperti Batman atau Tuxedo Bertopeng yang bersembunyi di kelambu misteri.

Hingga pada 6 Maret 2014, Newsweek memuat tulisan tentang pria bernama Dorian Prentice Satoshi Nakamoto, dalam artikel berjudul "The Face Behind Bitcoin". Artikel yang ditulis Leah McGrath Goodman itu menyebut Dorian Nakamoto yang tinggal di Temple City, California, AS, sebagai Satoshi Nakamoto, sang pendiri Bitcoin.

Minggu, 20 Oktober 2013

Misteri Pengeboman Coventry dan Konspirasi Peristiwa 9/11



photo: telegraph.co.uk
Perang Dunia II memang terjadi lebih dari tujuh dasawarsa silam. Tapi masih banyak misteri yang menyelimuti berbagai peristiwa yang terjadi seputar perang yang sebagian besar terjadi di kawasan Eropa itu. Tentu kita tak akan membicarakan misteri mengenai holocaust, karena meragukan holocaust bisa dianggap sebagai sebuah sikap anti-semit dan rasis, bahkan untuk sekedar mempertanyakannya secara ilmiah.

Salah satu misteri yang paling menarik di Perang Dunia II adalah Pengeboman Coventry, yang lebih dikenal dengan nama peristiwa "Coventry Blitz". Peristiwa ini terjadi pada 14 November 1940. Ketika itu armada Luftwaffe atau Angkatan Udara Jerman membumihanguskan kota Coventry di Inggris dalam sebuah serangan yang dinamakan "Operasi Moonlight Sonata", yang diambil dari salah satu komposisi klasik karya Beethoven.

Nah, misteri terbesar dari peristiwa Coventry Blitz adalah: konon pasukan Sekutu sudah mengetahui adanya rencana "Operasi Moonlight Sonata" ini. Lalu mengapa Perdana Menteri Inggris Winston Churcill yang ketika itu memimpin komando Tentara Sekutu membiarkan Jerman menghancurkan Coventry?

Kamis, 16 Mei 2013

BlackBerry Messenger, Langkah Awal Perubahan BlackBerry?


Nama Nintendo memang sudah lekat dengan video game. Bagi generasi yang menghabiskan usia remaja di tahun '80an dan '90an, Nintendo merupakan keseharian. Nintendo adalah kasak-kusuk mencari jalan untuk menyelamatkan Zelda bersama Link. Nintendo adalah keterampilan mengendalikan Mario dan Luigi melompat di antara dunia yang dipenuhi pipa, kura-kura, juga matahari bernama Lakitu dengan landak-landak tajam yang dilemparkannya untuk melukai kepala.

Tapi tak ada yang menyangka kalau perusahaan yang didirikan Fusajiro Yamauchi pada 23 September 1989 ini punya sejarah metamorfosis yang panjang. Berawal sebagai pembuat kartu hanafuda yang merupakan permainan khas Jepang, Nintendo juga pernah membuka usaha hotel cinta. Tapi hotel yang memang dikenal sebagai lokasi bercinta dengan tarif per jam ini sepertinya aib bagi Nintendo. Hotel cinta pun ditutup, bisnisnya dikubur.

Apa yang dialami Nintendo bisa jadi pelajaran untuk BlackBerry. Seperti apa?

Kamis, 04 Oktober 2012

Identitas Pembeda (Baru) itu Bernama Gadget


Masa lalu BlackBerry sepertinya penuh diwarnai kesombongan. Saat iPhone pertama kali diperkenalkan pada 2007 silam, Mike Lazaridis, CEO Research in Motion saat itu (selaku produsen BlackBerry), meremehkan kehadiran iPhone.

Lazaridis sendiri sebenarnya sedang menanggapi optimisme pendiri Apple, Steve Jobs. Dengan yakin Steve Jobs pernah berkata bahwa Apple memiliki visi akan mengubah ponsel layaknya komputer dan menyingkirkan popularitas BlackBerry.

Mendengar ucapan Steve Jobs itu, Lazaridis malah mempertanyakan apa yang sudah dicapai Apple di pasaran. "Berapa yang dimiliki Apple di pasaran? Jelas kecil," ucap Lazaridis ketika itu, dilansir dari Gizmodo.

Utopia Kebebasan Pers



"Saat ini dalam sejarah dunia, di Amerika tidak ada yang namanya kebebasan pers. Kalian tahu itu dan saya tahu itu. Tidak ada satu pun di antara kalian yang berani menulis pendapat kalian dengan jujur, dan kalau kalian melakukannya, kalian sudah tahu bahwa pendapat itu tidak akan pernah dicetak. Saya dibayar perminggu untuk menjauhkan pendapat jujur saya dari koran tempat saya bekerja. Kalian juga ada yang dibayar dengan harga serupa untuk hal-hal seperti itu, dan siapa pun di antara kalian yang dengan bodohnya menulis pendapat jujur akan terlantar di jalanan mencari pekerjaan baru. Kalau saya membiarkan pendapat jujur saya muncul di salah satu terbitan koran saya, sebelum 24 jam pekerjaan saya sudah melayang. Tugas para jurnalis adalah menghancurkan kebenaran, berdusta sama sekali, menyesatkan, memfitnah, menjilat kaki dewa kekayaan dan menjual negara dan rasnya demi sesuap nasi sehari-hari. Kalian tahu itu dan saya tahu itu, dan kebodohan apa ini mengajak kita bersulang bagi kebebasan pers? Kita adalah alat-alat pengikut orang-orang kaya di balik panggung. Kita adalah dongkrak, mereka menarik benang lalu kita menari. Bakat kita, kemungkinan kita, dan hidup kita semua, adalah milik orang lain. Kita adalah pelacur intelektual". 

JOHN SWINTON |  Mantan Jurnalis New York Times