Pages

Rabu, 29 Desember 2010

Teralienasi Angka


pada mulanya, manusia menanda waktu bukan dengan satuan angka. tapi melalui butiran pasir yang menetes perlahan, atau melalui bayangan yang terpantul pancaran sinar matahari. analog, bukan digital.

entah kapan, siapa memulai, dan bagaimana, manusia memerangkap waktu dalam satuan angka. mungkin saat itulah manusia mulai mengalienasikan diri dalam angka.

bangun pada pukul 04.30; mandi pada pukul 06.15; berangkat dari rumah pukul 07.30; tiba di kantor pukul 09.00; makan siang pukul 12.00, et cetera, et cetera.

tidak hanya rutinitas, bahkan manusia modern pun mulai terjebak dalam angka di sebuah upaya penghiburan diri, seperti jadwal film pukul 18.45. saat bertemu tuhan pun, manusia masa kini terjebak dalam angka: sholat maghrib pukul 18.13, sebuah waktu sholat yang seharusnya menjadikan matahari terbenam sebagai penanda.

manusia masa kini tampaknya memang teralienasi dalam angka. registrasi kependudukan menyebabkan manusia memiliki nomor KTP. dalam kegiatan ekonomi, nomor rekening menjadi kebutuhan. kalau sakit, manusia membutuhkan nomor jaminan sosial untuk berobat. dan saling keterhubungan pun membutuhkan angka: nomor telepon.

tidak hanya itu, kualitas pun sering dinilai dengan angka. murid dengan indeks prestasi di atas 3, dianggap lebih pintar dari yang 2 koma. manusia dengan penghasilan atau gaji double digit dalam satuan juta, akan memperoleh status dan kedudukan mulia di mata masyarakat.

keberhasilan sebuah negara pun dinilai berdasarkan angka statistik. dengan pertumbuhan ekonomi mencapai angka 6 persen, sebuah negara akan dianggap berhasil. walaupun di tahun yang sama ada satu kampung yang sebagian besar penduduknya mati karena kelaparan.

tentang tuhan? perdebatan tuhan tunggal atau jamak mungkin menjadi contoh bentuk manusia yang teralienasi dengan angka. ahh, bagaimana dengan cara manusia yang mengingatnya dengan cara menyebut 3 x 33 kali? entahlah. tidak bijak juga bagi saya untuk mempertanyakan cara manusia berhubungan dengan tuhan.

hahaha.. tuhan, saya meracau lagi. racauan yang sebenarnya disebabkan masalah sederhana: punya bos yang terobsesi dengan angka. sehigga menilai kualitas anak-buahnya hanya berdasarkan angka. hanya berdasarkan berapa jumlah pageviewer yang didapat dari berita-berita yang dibuat. angka pageviewer itu bahkan yang membunuh idealisme pembentukan media yang fokus dengan permasalahan korupsi. terbukti dengan matinya kanal korupsi.

sampai kapan saya bertahan? entahlah, saya hanya tidak ingin menjadikan angka sebagai alasan dan target untuk bertahan atau pergi.

29122011/07:08

Rabu, 03 November 2010

seperti apa tuhan?

suatu hari, seorang ustadz memberikan ceramah. "tuhan tidak terlihat, tapi terasa keberadaannya."

tiba-tiba saya menceletuk, "kaya kentut dong yah.."

sedikit menahan emosi, ustadz itu kemudian meralat. "tuhan bukan seperti kentut, tapi seperti udara! segar dan dibutuhkan manusia untuk hidup."

secara spontan pula saya merespon. "berarti di luar angkasa gak ada tuhan yah, kan di sana hampa udara.."
setelah berpikir lama, ustadz yang menahan marah itu kemudian melanjutkan lagi. "kalau begitu tuhan seperti listrik. tidak terlihat, namun menjadi daya pembangkit yang besar." 

saya kemudian merespon lagi. "kalau begitu, kalau pakai sandal jepit, kita tidak akan 'kesetrum' tuhan dong?"

tiba-tiba, ustadz menampar saya. matanya terlihat memerah, lalu berkata dengan nada meninggi:

"sakit?! seperti itulah tuhan! seperti rasa sakit! bisa dirasakan, tapi tidak terlihat.."

dengan menahan sakit, saya masih menjawab: "tapi sakit ini bersifat sementara. apakah tuhan juga?"

ustadz itu makin galak, kemudian berteriak. "jadi kamu menolak adanya tuhan?!

dengan menahan marah dan berusaha santun, saya hanya menjawab: "tidak! saya hanya menolak semua analogi manusia tentang tuhan. karena udara, listrik, bahkan rasa sakit adalah makhluq (yang diciptakan). bagaimana mungkin kholiq (sang pencipta) dianalogikan serupa makhluq."

saya dan ustadz itu kemudian sama-sama terdiam. walau begitu, mungkin masing-masing benak kami tidak akan pernah pernah terdiam untuk bertanya. "seperti apa tuhan?"

Sabtu, 16 Oktober 2010

Sulitnya Mencari Jenazah di Wasior Saat Presiden Datang


Wasior - Abdul Mamiek (43 tahun) menatap lekat pohon-pohon dan batu besar yang menimpa reruntuhan rumah-rumah di Teluk Wondama, Wasior, Papua Barat. Mamiek menduga di antara timbunan pohon, batu, dan lumpur itulah anaknya, Afdhalalul Ikhsan (21 tahun), terkubur banjir bandang saat bencana itu melanda Wasior.

"Di sekitar situ anak saya terkubur," kata Mamiek sambil menunjuk salah satu pohon besar, Kamis pagi, 14 Oktober 2010. "Lokasi itu juga saya tahu setelah tanya kepada warga di sini," lanjut Mamiek.

Usai menunjuk, Mamiek pun tak kuasa menahan tangis kehilangan Said, panggilan Afdhalalul, anak sulungnya yang baru tinggal di Wasior selama dua bulan. Di Wasior, Said bekerja sebagai tukang cuci foto dan ikut bersama adik perempuan Mamiek (tante Said) yang sekarang tinggal di pengungsian.

Ketika banjir bandang melanda Wasior, Mamiek sedang berada di Makasar. Saat mendapat kabar, seketika itulah Mamiek berusaha terus mencari Said yang masih dianggapnya hilang.

"Saya dapat kabar dia (Said) sedang tidur saat banjir itu datang. Sudah dibangunkan, tapi tidak sempat. Batu dan pohon besar itu menimpa rumah, tapi tidak ada yang tahu dia ke mana," ucap Mamiek sambil memegangi foto Said.

Sejak pertama tiba di Wasior, Selasa, 12 Oktober 2010, Mamiek pun terus berusaha mencari keberadaan Said. Termasuk jenazahnya, jika memang anaknya mati tertimbun lumpur akibat banjir bandang.

Mamiek terus meminta alat berat seperti ekskavator untuk mencari 'anaknya' di antara timbunan batu dan pohon besar. Namun, menurut Mamiek, pencarian korban hilang dihentikan sementara saat Wasior bersiap menyambut kedatangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 14 Oktober 2010.

"Secara spontan saya minta ekskavator untuk gali. Tapi dikatakan: 'Kita tidak lakukan dulu itu, kita utamakan bersihkan jalan karena presiden mau datang'," tutur Mamiek sambil menyeka air yang masih tertahan di matanya.

Walau tidak mendapat bantuan, Mamiek mengaku akan terus mencari keberadaan 'anaknya' yang hilang. "Bagaimana pun saya terus mencari, dengan adanya bantuan ataupun tidak," ujar Mamiek.

Namun, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Maarif mengatakan tidak ada penghentian sementara pencarian korban hilang. Menurut Syamsul, pencarian sementara hanya dihentikan di lokasi yang dilewati Presiden SBY.

"(Penghentian sementara) itu kan hanya pada titik yang dilewati Presiden. Sedangkan ada 18 titik yang pelaksanaannya tetap jalan, dengan 40 alat berat," ucap Syamsul yang ditemui di hotel tempat rombongan Presiden menginap di Manokwari, usai mengunjungi Wasior, 14 Oktober 2010.

Bayu Galih, Oktober 2010

Sabtu, 11 September 2010

Di Gerbang Istana




di gerbang istana, kemarin, ribuan orang berdesakan. kala itu, istana sedang mengadakan open house. iya, open house.. yang berarti (seharusnya) kemarin istana benar-benar membuka pintunya kepada semua orang yang akan masuk ke dalamnya: melihat kemegahan bangunan, keindahan taman, hingga bersalaman dengan raja penghuni istana.

dalam setahun, open house memang diadakan sekali, saat idul fitri. ini berarti dalam 364 hari (365 di tahun kabisat) yang lain, istana menjaga jarak dengan rakyatnya.

ironisnya, dalam open house setahun sekali itu pun jelata sulit sekali bertemu rajanya. mereka dipaksa berdesakan, menanti giliran masuk, hanya untuk bersalaman dengan rajanya. di depan gerbang sekretariat negara, yang anggaran pembuatan gerbangnya pun mampu kasih makan satu kampung miskin untuk dua tahun!

hingga seorang tunanetra bernama joni malela pun kemudian meninggal dunia akibat berdesakan di gerbang istana...

tapi kemudian, santer beredar kabar: rakyat berdesakan bukan semata untuk bertemu rajanya. tapi karena ada uang yang diberikan, usai bersalaman dengan raja.

setelah ditelusuri, ternyata memang ada uang Rp 100 ribu yang diberikan kepada penyandang cacat usai bersalaman dengan raja. tentu saja bukan salah para jelata apabila rela berdesakan di depan gerbang istana demi uang semata.

toh, dalam open house yang hanya sehari itu, mereka punya harapan akan bentuk 'kesejahteraan' nyata yang diberikan raja kepada rakyatnya. walaupun hanya Rp 100 ribu!

kesejahteraan pula yang tidak bisa diberikan sang raja kepada rakyatnya dalam 364/365 hari yang lain!

tiba-tiba, muncul kerinduan akan sosok pemimpin yang tidak pernah tinggal di istana, walaupun mampu untuk membangunnya. pemimpin yang terbiasa tidur di alas kasar hingga berbekas di punggungnya. pemimpin yang mau bertanggung jawab atas setiap lubang jalan yang ada di negerinya.
  
juga pemimpin yang ikut merasakan lapar, di saat rakyatnya kelaparan. bahkan hingga mengganjalnya dengan batu untuk menahan lapar.

(duka terdalam untuk joni malela)

11 September 2010

Senin, 19 April 2010

Hitam di Langit Koja, 14 April 2010

Saya yakin, saat itu saya sedang tidak berada di Tikrit atau Gaza. Tapi dentuman terdengar dari segala penjuru. Langit menghitam oleh asap dari kendaraan yang dibakar. Sore itu, saya ada di Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara, 14 April 2010.

Saat itu, amarah jelas terpancar di banyak wajah: Bahkan dengan senjata tajam yang siap terhunus. Selain amarah, terlihat pula wajah pucat ribuan anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).

Sebelumnya, ribuan wajah itu terlihat garang menyerang massa yang berkumpul di makam Habib Hassan al Haddad, yang dikenal juga dengan sebutan Mbah Priok. Namun, ketika terjepit, terkepung, dan tersudut, pucat merupakan ekspresi wajar manusia menghadapi kematian.

Siang itu, lima tubuh Satpol PP dalam keadaan tak berdaya ikut saya gotong ke pinggiran. Setidaknya, agar tidak terus dipukul, ditikam, habis-habisan.

Dalam keadaan kritis, saya sempat mendengar dari mulut yang tidak berdaya itu terucap: “Ya Allah.. Tolong saya..” Tapi dari massa yang menghajar, saya mendengar nama yang sama disebut: Allah. Entah berpihak kepada siapa Dia saat itu.

Saya ingat, salah satu Satpol PP yang saya gotong, tertera nama W. Soepono di seragamnya. Soepono menjadi salah satu korban tewas bersama Ahmad Tadjuddin dan Israel Jaya. Saya tidak ingat apakah Israel dan Tadjuddin juga saya gotong saat itu.

Entah apa yang saya rasakan saat itu, yang pasti saya sedih ketika membaca sms yang mengabarkan kematian Soepono. Tapi saya kemudian marah ketika mendengar pidato Presiden!

Di Priok, tidak ada polisi saat itu, karena hukum tidak berlaku. Tapi sikap Presiden yang menyalahkan Pemerintah Provinsi dan mengkambing hitamkan media, membuat saya makin prihatin dengan negeri ini.
Allah… Entah kepada siapa kau berpihak saat itu… Sampai kapan kami harus pasrah dengan keadaan negeri ini.

Kami tidak lagi punya pemimpin yang bisa diharapkan untuk mensejahterakan rakyatnya.. Tapi setidaknya, jangan biarkan kami saling benci, apalagi saling membunuh!

Rabu, 14 April 2010

Wartawan Militan

Ini ironis. Ada sebuah percakapan yang dilakukan sekumpulan wartawan yang menunggu sejak pagi hingga tengah malam, tembus dini hari:

"Gue mulai skeptis dengan kata 'wartawan militan'. Jangan-jangan kata 'militan' itu cuma dijadiin 'alat' oleh korporasi," kata salah seorang teman, wartawan situs berita.

"Biar wartawannya ikhlas dibayar murah, tanpa harus menuntut uang lembur..."kata teman yang lain, wartawan surat kabar harian.

*menghela nafas panjang*

Lalu apa yang membuat kami bertahan hingga tengah malam, walau liputan sejak pagi? Mungkin ada perasaan 'takut kebobolan' dan tidak dapat berita bagus? Atau tidak mau kehilangan momen, yang bisa jadi sangat bersejarah di masa mendatang? Atau malah lebih sederhana: takut dimarahi bos di kantor?

Entah..

Anehnya lagi, beberapa saat setelah percakapan itu teman wartawan lain berucap: "Semoga ini tahun terakhir jadi wartawan.."

Hahaha. Ucapan yang (menurut pengakuannya) diucapkan tiap tahun, sejak bertahun-tahun lalu. Tapi tetap saja dia bertahan jadi wartawan.

Atas alasan apa dia bertahan? Entah. Alasan nasib, barangkali..

Rabu, 13 Januari 2010

detakan

suatu malam kamu tanya, kenapa aku tidak pernah memegang tanganmu. kalau itu memang butuh jawaban...

karena tiap aku mendengar detak jantungmu yang beradu detak dengan jantungku, rasa-rasanya itu lebih dari sebuah genggaman, bahkan dekapan erat..

Minggu, 10 Januari 2010

pada sebuah perpisahan

pada sebuah perpisahan: seloyang pizza, sekotak donat, kumpulan kenangan yang terserak, dan sisa harapan di masa depan.

setelah ini mungkin akan jarang lagi ke ui, ke depok.

selamat tinggal kukusan;
selamat tinggal hutan karet;
selamat tinggal mushola nurul jihad;
selamat tinggal jalanan ui malam hari;
selamat tinggal sahabat terbaik.

thanks for the best 8+ years..

Rabu, 06 Januari 2010

Around the World with Joseph Stiglitz


Rating:★★★★★
Category:Movies
Genre: Documentary
“Dunia,” kata Gandhi pada suatu ketika, “menyediakan semua kebutuhan manusia, tapi tidak keserakahan manusia.” Dan Joseph Eugene Stiglitz, tampak ingin membuktikan ucapan Gandhi tersebut dengan berkeliling dunia.

Tapi Joseph Stiglitz “hanyalah” seorang profesor ekonomi dan peraih Nobel bidang Ekonomi dari Amerika Serikat. Adakah hal menarik dalam mengikuti perjalanan keliling dunia seorang warga dari negara yang dicap sebagai sumber keserakahan? Seorang sutradara bernama Jacques Sarasain mencoba menjawab dengan sebuah film dokumenter: Around The World with Joseph Stiglitz (2009).

Dalam film berdurasi 88 menit ini, Sarasin berusaha mengeksplorasi keresahan Stiglitz terhadap globalisasi yang dianggap tidak berjalan sebagaimana mestinya. Globalisasi, bagi Stiglitz, selalu menguntungkan negara maju dan merugikan negara berkembang–bila kita enggan menyebutnya negara miskin.

Dari Ekuador, Stiglitz memperlihatkan bahwa kekayaan alam sering kali hanya menguntungkan pemilik modal besar. Ironisnya, dengan kebijakan pemerintah yang salah, malah hanya menimbulkan kesengsaraan masyarakat setempat. Dalam hal ini, Stiglitz memotret kegiatan pertambangan yang dilakukan perusahaan Texaco dengan keuntungan besar yang diperoleh, sedangkan masyarakat sekitar pertambangan menjadi korban dari “natural resources curse”: Kutukan akibat kekayaan alam, karena pencemaran lingkungan dan eksploitasi, tanpa pernah menikmati kekayaan alamnya yang melimpah.

Di sebuah negara kecil di Afrika bernama Botswana, Stiglitz memperlihatkan kekayaan alam malah menyebabkan penduduk sekitar diusir dari tanah leluhurnya. Dengan dalih penambangan berlian pemerintah setempat meminta penduduknya mengosongkan wilayah pada radius lima kilometer. Dengan dalih konservasi alam liar, penduduk setempat malah harus meninggalkan pohon-pohon yang padahal telah dipercaya sebagai reinkarnasi leluhur dan moyang mereka.

Lain lagi dengan yang terjadi di India. Penduduk suatu desa sampai dijerat kemiskinan yang menyebabkan mereka berkorban untuk menjual ginjal, parahnya, secara massal. Ironisnya, ini bukan disebabkan gagalnya panen kapas yang menjadi pencaharian. Malahan mereka harus menumpuk kapas hingga dalam rumah, karena kapasnya hanya laku dijual dengan harga murah. Penyebabnya: subsidi terhadap petani kapas di Amerika Serikat menyebabkan pasokan kapas dunia dari Amerika melimpah, harga kapas di India jatuh.

Menariknya, Stiglitz memulai keliling dunia yang nestapa akibat globalisasi ini dari kota asalnya: Gary, Indiana, Amerika Serikat. Ketika masih menjadi pusat industri baja, Gary bersolek menjadi kota yang cantik. Namun setelah industri jatuh, Gary pun terlihat renta dan hanya menjadi kota penuh reruntuhan, meninggalkan kecantikan masa lalunya. Sampai ketika pengusaha baja bernama Mittal datang, Gary pun berusaha bangkit.

Sarasin melakukan sejumlah adegan puitis dengan perenungan Stiglitz di tengah reruntuhan Gary. Gambar ini seolah mengungkapkan keresahan Stiglitz: “Hei, bahkan Amerika pun korban dari globalisasi.”

Perjalanan Stiglitz keliling dunia tentu tidak semenarik perjalanan Phileas Fogg dalam novel Jules Verne, Around the World in 80 Days. Petualangan Stiglitz pun kalah seru dibandingkan yang dilakukan Indiana Jones atau Lara croft.

Di film ini Stiglitz berusaha menularkan kegelisahan: Bagaimana agar globalisasi bekerja.

Sebagai sebuah film, tentu ini bukan sebuah aksi yang melahirkan solusi. Namun, tentu yang dilakukan Stiglitz menjadi sebuah pemicu aksi terciptanya masa depan yang lebih baik, terutama untuk para pengambil kebijakan.