Pages

Sabtu, 10 Mei 2014

Doxing dan Pelanggaran Privasi di Dunia Maya

foto: wonderhowto.com

Bagi aktivis dunia maya, Satoshi Nakamoto identik dengan tanda-tanya. Namanya mulai dibicarakan di 2009, sejak memperkenalkan Bitcoin, platform mata uang digital yang kini sudah digunakan untuk transaksi di internet. Tapi tidak ada satu orang pun yang tahu identitasnya. Sosoknya gelap. Nama Satoshi Nakamoto diduga sebagai alter-ego seseorang atau sekelompok orang pencipta Bitcoin yang tak ingin diketahui asal-usulnya. Seperti Batman atau Tuxedo Bertopeng yang bersembunyi di kelambu misteri.

Hingga pada 6 Maret 2014, Newsweek memuat tulisan tentang pria bernama Dorian Prentice Satoshi Nakamoto, dalam artikel berjudul "The Face Behind Bitcoin". Artikel yang ditulis Leah McGrath Goodman itu menyebut Dorian Nakamoto yang tinggal di Temple City, California, AS, sebagai Satoshi Nakamoto, sang pendiri Bitcoin.

Menariknya, Newsweek mengungkap detail kehidupan pribadi Dorian Nakamoto. Di sisi lain, tidak ada bukti otentik yang dianggap bisa membuktikan Dorian Nakamoto sebagai pencipta Bitcoin.

Artikel itu menuai masalah. Newsweek dianggap melakukan pelanggaran privasi di dunia maya. Apalagi, kalau pun Dorian Nakamoto memang terbukti sebagai pencipta Bitcoin, dia tetap punya hak untuk tetap anonim dan tidak diliput media.

Pengguna internet AS menuduh Newsweek melakukan doxing dalam praktik jurnalisme yang dilakukannya. Doxing (atau ditulis juga doxxing), merupakan istilah untuk menyingkat penyebutan document tracing, aksi mengungkap informasi pribadi seseorang di internet.

Mengutip laman Economistdoxing populer lebih dulu di kalangan peretas atau hacker. Biasanya kata ini digunakan para hacker untuk merujuk aksi pengumpulan informasi pribadi, seperti identitas, alamat rumah, foto, hingga aktivitas harian, yang kemudian disebar di internet. Forum online seperti Reddit umumnya menjadi wadah penyebaran hasil doxing.

Maraknya media sosial yang ada seperti Facebook, Twitter, Linkedin, Instagram, hingga YouTube memang menjadi 'tambang emas' bagi para pelaku doxing. Sebab berbagai informasi sudah terhampar dengan bebas, dan secara mudah tinggal dikumpulkan. Jika sasaran yang dituju merupakan pribadi yang impulsif dan ekstrovert, tentu doxing bisa menjadi aksi yang fatal. Karena post yang bersifat impulsif dan terbuka itu bisa di-capture, di-share, dan dimanfaatkan sebagai bahan olok-olok, yang tentu saja dianggap sebagai cyberbullying.

Aksi doxing di berbagai forum online AS selalu menuai kecaman. Tapi ketika Newsweek melakukan aksi serupa, para aktivis forum online di AS pun melawan: Ketika sebuah post di Reddit disebut sebagai aksi doxing dan menuai kecaman, mengapa artikel di Newsweek dianggap sebagai pembenaran dan jadi karya jurnalistik?

Bagaimana dengan Indonesia?

Hal yang serupa sebenarnya juga terjadi di Indonesia. Doxing merupakan hal yang lumrah dilakukan. Jika tidak percaya, coba tengok berbagai forum online yang ada. Ketika ada kejadian pengendara Honda Jazz menabarak puluhan siswa di sebuah SMA di Sidoarjo misalnya, maka thread di forum itu akan ramai dengan post berisi foto pelaku yang didapat di media sosial. Lebih jauh, para pengguna forum online ini bahkan bisa melacak kalau pelaku penabrak juga ikut seleksi masuk Kepolisian, dan ditolak.

Pengguna media sosial di Indonesia juga menjadi pelaku aktif untuk aksi doxing. Di Twitter misalnya, ketika pasangan abg pembunuh Ade Sara diketahui identitasnya, dalam waktu singkat berbagai informasi mengenai pasangan pelaku pembunuh Ade Sara terpampang di lini masa.

Bahkan di media sosial yang lebih privat seperti Path, aksi doxing pun mengancam privasi penggunanya. Tidak percaya? Silakan tanya pengguna Path bernama Dinda yang tidak mau memberikan kursinya kepada ibu hamil. Beruntung hanya ungkapan pikiran Dinda yang jadi hasil doxing. Jika identitas lengkap Dinda terungkap, entah seperti apa nasib Dinda yang menjadi korban bully se-Indonesia Raya.

Dunia maya memang terlihat indah, tapi juga mengerikan. Sebab dunia maya sudah menjadi taman bermain untuk Mr Hyde di tubuh kita. Jika di dunia nyata kita akan berperilaku seperti Dr Henry Jekyll yang penuh kesantunan, maka dunia maya seolah mengizinkan kita menjadi Mr Edward Hyde. Umpatan, makian, cacian, dan hinaan akan dengan mudah kita lepaskan. Membuka aib orang lain tentunya bukan hal yang tabu untuk dilakukan. Dengan mudah kita bisa menjadi monster, dan kemudian berlindung di balik sosok pseudonym.

Parahnya, hal yang sama dilakukan media di Indonesia. Beragam berita yang bersifat doxing bisa dengan mudah menembus ruang redaksi, dan media tak lagi fokus dengan substansi. Ketika ada kasus Xenia Maut misalnya, maka hal-hal tidak penting yang melanggar privasi seperti profil pelaku di sebuah situs jodoh, malah jadi bahan tulisan.
Memang belum ada batasan jelas terkait adanya pelanggaran hukum dalam doxing. Di Indonesia sendiri, ada pasal 'lentur' (baca: karet) dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang bisa digunakan untuk aksi doxing.

Meski internet merupakan sarana yang memungkinkan untuk mengakses banyak informasi, tapi seharusnya tiap orang mengerti batasan privasi. Dengan kata sederhana, privasi merujuk kepada ruang pribadi kita yang tidak ingin dimasuki oleh orang lain, karena itu kita tidak akan masuk dan mengungkap ruang pribadi orang lain.

Ruang privasi inilah yang seharusnya dijaga dan tidak bisa dimasuk siapapun, termasuk pemerintah. Jadi ketika kita marah ketika mengetahui dari Edward Snowden bahwa data privasi kita dikumpulkan NSA, seharusnya saat itulah kita tahu betapa berharganya sebuah privasi untuk dilindungi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar