Pages

Selasa, 29 Desember 2015

Kami Tak Pernah Cengeng dan Bilang, "Ini Senjakala Kami.."

Saat pertama kali membaca tulisan Bre Redana yang berjudul "Inikah Senjakala Kami..", saya teringat kisah tentang Guru Yosen. Jadi Guru Yosen ini adalah karakter di komik Kungfu Boy yang mengajarkan Chinmi jurus kungfu peremuk tulang, yang menjadi andalan. Maaf, saya bukan makhluk adiluhung yang kaya referensi pustaka, jadi sekedar mengambil hikmah dari komik.

Nah, Guru Yosen ini tahu kalau dia memasuki senjakala usia. "Dia ahli kungfu, tentu paling tahu dengan kondisi badannya," begitu kata dokter yang mengabarkan mengenai kesehatan Guru Yosen yang diprediksi tinggal beberapa hari.

Tapi, Guru Yosen ingin mewariskan hal yang paling berharga dalam hidupnya: ilmu. Karena itu Guru Yosen mempersembahkan nafas terakhirnya untuk mewariskan kungfu peremuk tulang ke Chinmi, orang yang dipercaya juga akan mewariskan ilmu itu ke muridnya kelak.

Sayangnya Guru Yosen cuma tokoh rekaan Takeshi Maekawa. Toh, banyak orang-orang tua yang memilih untuk menghadapi senjakalanya dengan meratap, mengutuk, dan menyalahkan hidup. Mungkin termasuk Bre Redana.

Seperti layaknya Chinmi memandang Guru Yosen, kami, wartawan muda bau kencur ini, awalnya menganggap sosok seperti Bre Redana dengan penuh kekaguman. Tapi kekaguman itu surut, karena dia memilih untuk menepuk dada atas semua pencapaian yang dianggapnya berhasil dilakukan. Dia memilih untuk mengglorifikasi karyanya, masa lalunya, juga platform medianya, layaknya kerja adiluhung yang tanpa cela.

Dengan sombong, dia membuat dikotomi "kami" dan "mereka", untuk menghadirkan jarak bak bumi dan langit. "Kami" untuk menyebut pekerja media cetak, yang menerapkan standar mutu jurnalistik tanpa cela. Adapun "mereka" untuk wartawan "media mutakhir" yang penuh cela: tidak pernah mencatat, khusyuk pada gadget, tidak pernah hadir saat wawancara berlangsung, atau menjadikan wawancara untuk menampung omongan orang "tanpa konfrontasi kesadaran".

Dan, (dalam interpretasi saya), wartawan media mutakhir penuh cela itulah yang dianggap membunuh wartawan konvensional nan adiluhung.

Cari bentuk

Saya tidak tahu apa ada yang belum diketahui Bre Redana. Tapi andai dia belum tahu, saya cuma mau ngomong bahwa beragam bentuk "media mutakhir" ini ada bukan karena tiba-tiba. Kami, wartawan media mutakhir (terutama media online), juga berproses dan mencari bentuk dalam upaya menyajikan sesuatu yang menarik untuk pembaca.

Ada media yang menawarkan konsep serupa lini masa: mempublikasi informasi yang lebih dulu datang, dan melakukan klarifikasi atau mengembangkan informasi itu belakangan. Waktu tayang yang tidak tergantung deadline, membuat media online akhirnya memilih untuk "menjual" kecepatan.

Saya sendiri bergabung dengan media online saat kritik atas konsep itu mulai datang. Karena itu, media online saat itu mulai menghadirkan berita yang lebih utuh, dengan latar belakang berita, juga cover both side dengan klarifikasi atau bantahan.

Malahan, media saya waktu itu mulai berusaha menyajikan konten yang lebih panjang, layaknya tulisan di koran bahkan majalah.

Tapi andai Bre Redana belum tahu, yang saya ragukan itu, proses mencari bentuk itu bukanlah hal yang mudah. Jika akhirnya pembaca memilih untuk mengandalkan berita di dunia maya ketimbang di koran, itu juga bukan simsalabim abrakadabra dan terjadi tiba-tiba. Butuh waktu bagi kami hingga akhirnya pembaca terbiasa membaca berita di media mutakhir ini.

Dalam prosesnya itu pun, kami mengalami banyak kendala. Ada di antara kami yang dianggap wartawan bodrex, karena narasumber beranggapan: "Saya enggak pernah lihat korannya tuh".

Tentu susah menjelaskan itu kepada mereka pada 8 hingga 10 tahun lalu, saat membaca media kami harus lebih dulu bayar Rp 6.000 per jam di warung internet terdekat. Jadi jangan bayangkan bisa memperlihatkan media itu dalam layar 3,5 hingga 10 inci seperti sekarang.

Tapi, kami terlatih menjadi wartawan "media mutakhir", yang membesarkan nama kami sendiri. Kami tidak mengandalkan nama besar untuk mendapatkan sumber berita. Kami terlatih mengais-ais demi mencari berita, dari menelusuri panasnya utara Jakarta, atau seperti menggelandang di lantai gedung parlemen.

Karena kami tidak punya nama besar, bahkan ada di antara kami yang ditolak masuk ke ruangan konferensi pers. Alasan narasumber sepele: "Itu nama media atau nama bedak?"

Tapi saat penolakan-penolakan itu datang, apa kami pernah meratap. Apa kami jadi cengeng dan mengatakan, "Ini senjakala kami?!"

Begitu banyak pula media online yang akhirnya mati, tapi apa kami pernah meratap dan dengan cengengnya bilang, "Ini senjakala kami?!"

Sekali lagi, kami paham ini karena kami tidak pernah mengandalkan nama besar, tapi membesarkan nama kami sendiri.

Kami paham ini, sebab kami bukan generasi yang dimanjakan teknologi, meski dituduh jadi generasi yang abai karena teknologi.

Sebab kami harus terlebih dulu belajar sebelum akhirnya menikmati dan memanfaatkan teknologi. Kami bagian dari generasi yang terbiasa mengutak-atik saluran tv: menelusuri kanal UHF dan VHF, sebelum akhirnya bisa menikmati video game di resolusi 8 bit. Kami bagian dari generasi yang harus membolongi uang logam dan mengikatnya dengan benang pancing, agar kami bisa puas menikmati dingdong atau puas pacaran via telepon koin. Kami juga mengakali telepon kartu dengan kode khusus sambil menutup gagang hingga puluhan kali, untuk bisa menggunakan telepon itu tanpa kartu.

Sekali lagi, kami bukan bagian dari generasi yang dimanjakan teknologi, apalagi jadi makhluk yang abai karena teknologi. Kami adalah generasi yang belajar bagaimana memanfaatkan teknologi.

Soal tren atau pendapatan?

Hal lain yang membuat saya kecewa dari tulisan Bre Redana adalah dia merasa senja atas dasar "konsekuensi bisnis". Kenapa kesadaran itu muncul saat "pengiklan lebih memilih berinvestasi pada media yang lebih gemebyar seperti televisi"?

Kalau konsekuensi bisnis itu baru disadari saat pendapatan menurun, lalu apa salah kami, juga teman kami di media televisi, saat media konvensional tidak bisa membaca tren?

Apa salah kami saat pembaca mulai malas membeli majalah yang lebih dari 33 persen isi halamannya cuma iklan atau info komersial? Apa salah kami saat pembaca malas membeli koran yang di depannya berisi iklan besar 1 halaman?

Kenapa kesadaran itu tidak hadir saat muncul saluran televisi yang mengkhususkan tayangannya hanya untuk siaran berita? Kenapa pula kesadaran itu tidak muncul saat media online mulai menyajikan konten tulisan yang lengkap dan komprehensif, yang juga serupa koran atau majalah investigatif sekalipun.

Bukankah konten media online telah diakui kualitasnya 5 tahun lalu, saat ProPublica mendapatkan Piala Pulitzer 2010 untuk reportase investigatif atas liputan saat Badai Katrina melanda Amerika Serikat. Dengan penghargaan yang didapat ProPublica itu, media yang langganan dapat Pulitzer macam Washington Post pun masih merasa perlu untuk meningkatkan mutu dan kualitas.

ProPublica pun membuat kami sadar mengenai kualitas konten kami yang sangat harus diperbaiki. Ini tentu menjadi kesadaran kami, dan berharap bagian dari proses yang kami jalani untuk kebaikan di masa depan.

Jadi, ketika media mutakhir tempat kami bekerja itu dianggap tidak menghasilkan karya yang adiluhung, kenapa media konvensional itu tidak malah menghasilkan konten yang jauh berbeda, hingga pembaca malas beralih melirik media mutakhir kami? Kalau tidak ada informasi baru yang disajikan, bukankah wajar kalau pembaca malas untuk mencari media konvensional, bayar pula?

Jadi sebenarnya, saat media konvensional melahirkan produknya, produk itu ditujukan untuk siapa? Untuk pembaca atau semata keinginan medianya?

Tanpa bermaksud membandingkan, toh bukankah konten ekslusif itu yang membuat Majalah Tempo masih dicari pembaca (mungkin juga diincar pengiklan)?

Lagipula, senjakala itu untuk siapa? Masih terlalu dini untuk membunyikan lonceng kematian untuk media cetak. Toh, ada alasan bagi seorang visioner teknologi Jeff Bezos saat memutuskan untuk mengambil alih Washington Post. Toh, ada alasan bagi perusahaan online besar seperti Ali Baba saat memutuskan membeli South China Morning Post.

Jadi, pesimisme Bre Redana itu mewakili siapa? Mewakili seluruh media konvensional, atau media konvensional yang enggan berbenah dan malas mencari jalan keluar?

Kritik dan otokritik

Kalau memaknai tulisan Bre Redana itu sebagai sebuah kritik, tentu kami, wartawan media mutakhir yang disebut Bre Redana tidak pernah mencatat ini, masih bisa menerima.

Tapi dengan dikotomi "kami" dan "mereka" untuk mengklasifikasi derajat media, tentu jadi sebuah pertanyaan, apa kritik itu hanya ditujukan untuk wartawan media mutakhir? 

Lantas, apa media konvensional tidak pernah melakukan otokritik atas kualitas dan hasil karyanya? Bukankah menurunnya kualitas jurnalistik saat ini juga karena kualitas karya media konvensional yang ikut menurun? Apa harus melimpahkan semua cela pada kami, wartawan yang dianggap tidak punya bolpen ini?

Bicara "being there", sejujurnya saya bisa mengatakan bahwa kami yang di media mutakhir terbiasa harus hadir di lokasi saat peristiwa berlangsung. Karena kami tidak hanya menjadi reporter untuk media kami, tapi juga menjadi fotografer, bahkan kalau perlu menjadi videografer.

Malah kami sering heran dengan sejumlah wartawan media konvensional yang tidak hadir saat sidang kasus korupsi misalnya, tapi beritanya tetap muncul... lengkap dengan putusan vonis saat sidang, bahkan hasil wawancara usai sidang.

Jadi ketika Bre Redana menulis "internet menyediakan semua data, tapi tidak pernah bisa menggantikan proses pertemuan dan wawancara", itu sebenarnya ditujukan untuk siapa? Apa juga ditujukan kepada wartawan media konvensional yang kerjanya cuma menyalin hasil kerja media mutakhir?

Pun jika media cetak akhirnya mati dan hanya dilestarikan di museum bersama mesin cetak buatan Gutenberg, saya berpendapat jurnalisme tidak boleh ikut mati. Platform cuma wahana, cuma perantara, bukan ruh jurnalisme itu sendiri.

Kami menerima kritik, jika kritik itu memang ditujukan untuk sama-sama meningkatkan kualitas produk jurnalistik. Jadi, bukan untuk mendikotomi wartawan berdasarkan platform atau segmentasi pasar yang diambil media yang bersangkutan.

Saya sependapat dengan Nezar Patria, mentor yang pertama kali mengajarkan saya banyak hal tentang jurnalisme online, bahwa "technology is easy, but journalism is hard"

Teknologi bisa dikuasai dengan mudah oleh mereka yang berpikiran terbuka dan mau belajar. Platform boleh saja berganti, misalnya dari cetak ke digital. Tapi praktik jurnalisme bermutu hanya bisa dihasilkan oleh sebuah disiplin yang membaktikan dirinya kepada akurasi, kejujuran, dan dipandu oleh cara berpikir kritis, plus etis. Ia tentu tak bisa dilakukan instan oleh mereka yang bahkan mampu menulis secepat bayangannya sendiri.

Jurnalisme adalah sebuah ilmu plus seni. Ia juga semacam ruh. Semestinya ia tak boleh mati hanya karena bentuk media berganti.
Rawabelong, Desember 2015

25 komentar:

  1. APPLAUSE!

    Luar biasa tulisannya mas. Sangat sangat mencerahkan.
    Memang, "mati suri"-nya media cetak, kudu membuat awak media berinstropeksi, bukannya justru menuding pihak2 yang dianggap sebagai "mereka".

    Ahai, jadi inget AADC. Jadi, salah gue? Salah temen2 gue?

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih, mba.. mungkin banyak yang menyimpan keresahan yang sama juga ya.. salam kenal. :)

      Hapus
  2. Sepakat. Media cetak nyaris tak pernah bercermin soal konten yg mereka sajikan. Judul dan isinya kadang sama dengan yg dimuat media online 12,18, atau 20 jam sebelum koran mereka smp di pembaca

    BalasHapus
    Balasan
    1. masalah aktualitas memang jadi kendala untuk media cetak. karena itu kita sebagai pembaca mengharapkan konten yang lebih eksklusif, atau tulisan yang memikat. :)

      Hapus
  3. Saya pernah menulis di Kompasiana tentang masa depan media cetak
    silakan klik di http://www.kompasiana.com/andreyandoko/apakah-surat-kabar-akan-mati_564f41d9d27e61a80b61897c

    Andrey

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya sudah baca, mas. mantap.. salam kenal ya.

      Hapus
  4. Bolehlah tulisan ini saya postingkan juga di blog saya...www. mantagibaru.com Tks

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalo dicantumkan sumbernya boleh, mas.. kalo ada nomor email, nanti saya kirim..

      Hapus
  5. "Platform cuma wahana, cuma perantara, bukan ruh jurnalisme itu sendiri." --> Cheers to that!

    BalasHapus
  6. Terima kasih Mas Bayu, tulisan nya sangat mencerahkan, terutama soal media yang boleh berganti tapi ilmunya yang dipertahankan, dan supaya kita jadi individu yang gak cengeng menghadapi tantangan dan perubahan jaman. :)

    BalasHapus
  7. semoga Bre Redana baca tulisan ini yah...setidaknya dapat sedikit mengerem frustrasinya...heheheh

    BalasHapus
  8. Mantap ge hahahaha. Menarik diskusinya. tulisan kalian berdua jadi reminder buat semua

    BalasHapus
  9. Mencerahkan sekaligus menohok orang2 yg masih mendewakan "wahana" daripada spirit jurnalisme itu sendiri.. terima kasih Mas..

    BalasHapus
  10. sayang contoh anda itu masih yang di luar negeri saja. Coba ada contoh sukses Jurnalisme online di dalam negeri, diluar yellow journalism ala detik?

    Good journalism is costly, great journalism is expensive. And media just want to be profitable, financially or politically. I say Fuck them.

    BalasHapus
  11. Salam kenal Mas Bayu Galih. Saya bekerja di salah satu media cetak. Saya tidak ingin masuk di perdebatan mana yang lebih bagus apakah media cetak atau media digital. Hadirnya media cetak menurutku malah membuat masyarakat semakin punya banyak pilihan untuk mendapat informasi.

    Bagi saya, seseorang yang hanya menyalahkan media digital sebagai virus matinya atau bahasa kerennya senjakala media sama, menganut seperti pepatah yanng bilang tidak boleh ada dua singa di atas bukit yang sama. Artinya ia serupa orang yang tidak siap bersaing, gugup dan tidak mengandalalkan diri sendiri sehingga memilih menjatuhkan lawan, ketimbang meningkatkan kualitas diri.

    Baik media cetak maupun elektronik sejatinya bersaing untuk menghadirkan berita yang akurat dan terjamin agar bisa melaksanakan fungsinya sebagaisalah satu pilar demokrasi.

    Oh..iya. Tulisan Mas Gayuh ini menarik karena memberi kaca pembesar bagi seseorang atau masyarakat yang selalu memandang sinis, bahwa media digital lahir, dan tumbuh dengan penuh perjuangan. Beberapa kali tidak diberi tempat saat konferensi pers, seperti yang Mas katakan, membuat bulu kuduk saya berdiri bahwa betapa media digital tidak secara sim salabim atau kun fayakun langsung mendapat tempat.

    Terima kasih tulisannya. Semoga kualitas jurnalis dan karyanya semakin meningkat, tidak peduli apakah memakai media cetak atau digital.

    BalasHapus
  12. Keren mas, sebelumnya saya berpihak sama Bre redana dan wartawan konvensional. Sekarang sama mas juga. seharusnya sesama wartawan tidak boleh saling menjatuhkan.

    BalasHapus
  13. Bener juga om...pasti wartawan viva kan. Hehehe... Makasih om, jd open pemikiran gw...

    BalasHapus
  14. Saya sepakat...jurnalisme tak akan pernah mati sekalipun media berganti..itu bagi yang tidak cengeng dan mau berproses...

    BalasHapus
  15. Salam kenal Mas Bayu Galih, boleh minta kontaknya mas? sy hanya ingin diskusi2 terkait media online dalam penyelesaian tugas akhir sy. makasih sebelumnya

    BalasHapus