SEJAK enam bulan tinggal di Solo, Jawa Tengah, saya selalu bingung setiap dapat pertanyaan: "Mas, aslinya mana?". Bagi beberapa orang, mungkin pertanyaan ini terdengar mudah, yang disusul jawaban merujuk pada suku tertentu.
Namun, ini pertanyaan sulit untuk saya jawab mengingat saya memiliki kesadaran akan akar identitas. Yang pasti, selalu ada yang tertawa saat saya menjawab saya ada keturunan China.
Saya tidak sedang bercanda, tetapi bagi orang yang melihat penampakan fisik, sepertinya wajar jika mereka tertawa. "Cino kok ireng" (China kok hitam)..
Baiklah, untuk lebih mudahnya merunut pertanyaan soal identitas ini, lebih baik dipaparkan seperti ini:
Saya lahir dan besar di Jakarta, tetapi bukan berasal dari suku Betawi. Ibu saya lahir di Yogya, jadi sah saja saya menyebut diri orang Jawa.
Sedangkan, bapak saya lahir di Bandung. Namun, bapak bukan orang Sunda, sebab orangtuanya (kakek saya) mengungsi di masa perang dari Cilacap.
Secara kultur, bapak saya bisa dibilang orang Jawa, tapi dia kemudian besar di Jakarta. Di kota yang masyarakatnya berbaur ini, semua kultur tampaknya sudah melebur.
Namun, secara fisik bapak saya juga terlihat seperti orang Tionghoa. Matanya sipit, kulitnya terang.
Meski terlihat seperti orang Tionghoa, tak ada budaya atau tradisinya yang melekat. Tak pernah ada perayaan Imlek, juga tak pernah menerima angpau atau kue keranjang.
Malahan, sewaktu kecil bapak saya seperti anak kecil lainnya yang dibesarkan di wilayah Manggarai, Jakarta Selatan.
Sebelum sekolah dia berjualan koran bersama kakaknya, pakde saya, di sekitar stasiun. Kadang ikut mandi dan berenang di kali yang sekarang warnanya hitam itu.
Mau lihat fotonya? Coba cari buku Queen of the East (2002) yang ditulis Alwi Shahab. Saat ada bab soal Manggarai, coba cari bocah yang terlihat Tionghoa di salah satu foto. Itu bapak saya.
Mungkin bukan pemandangan aneh saat itu, sekitar 1950-an, melihat anak kecil yang bermata sipit bermain bersama anak lain di perkampungan.
Tak ada yang istimewa juga saat bapak, sebagai muslim, ada dalam barisan saf saat shalat. Karena itu, saya kerap tak habis pikir setiap dengar pernyataan, "Dia China, tapi Muslim kok.." What??
Saya juga heran saat sekarang ini kerap mendengar pernyataan yang anti-Tionghoa atau anti-China. Entah apakah "modernitas" membuat pikiran orang semakin sempit? Atau bisa jadi pikiran yang sempit itu buah dari politisasi agama vs politisasi kebinekaan yang terjadi sejak Pemilu 2014.
Kesadaran identitas
Meski sekarang tak mudah bagi saya untuk menjelaskan soal identitas, tapi saat kecil pertanyaan itu relatif lebih mudah dijawab. Saat itu saya dengan yakin menjawab "saya orang Jawa".
Nama saya terdengar sangat Jawa. Dari wajah pun sudah terlihat Jawa, meskipun mata sedikit tipis.
Beranjak tua, kesadaran identitas itu mulai memudar. Saya tak lagi memandang tradisi orang Jawa sebagai sesuatu yang harus dijalankan. Soal selametan atau ruwatan misalnya, perlahan saya menilainya sebagai hal yang profan, bukan sakral.
Sebagai orang yang berasal dari keluarga besar Nahdliyin, saya ikut memahami ajaran Muhammadiyah, yang memandang selametan bisa saja diganti syukuran. Tapi ini bukan berarti saya secara serampangan menolak semua tradisi Jawa atas nama agama.
Cara memandang tradisi yang perlahan pudar ini juga membuat saya lama-lama merasa asing dengan akar kultural saya sebagai orang Jawa.
Entah disadari atau tidak, bisa jadi ini merupakan realitas masyarakat perkotaan, terutama Jakarta. Sebab, biasanya, suku seseorang baru terlihat saat acara besar, seperti resepsi pernikahan misalnya.
"Oh dia orang Minang. Itu ada hiasan rumah gadang di pelaminan".
"Ternyata dia orang Jawa, ya... Tadi banyak banget upacara yang dijalanin".
Sounds familiar?
Tapi tolong jangan tanya saya soal pernikahan. Pokoknya jangan.
Intinya, saya masih memandang saya sebagai orang Jawa. Di sisi lain, lebih dari tiga dasawarsa berada di Jakarta membuat saya memahami diri saya sebagai "orang Jakarta": hasil pembauran multietnis, multikultur, multibudaya, yang longgar memandang tradisi asal.
Perihal Tionghoa
Nah, mengenai keturunan Tionghoa, kesadaran ini sebenarnya baru muncul sejak usia belasan. Ini bermula pada suatu masa di Jalan Malioboro, saat bapak saya berbasa-basi dengan dua orang turis asing.
Sepasang turis itu berasal dari Hong Kong, dan kebetulan bapak saya beberapa kali ke sana hingga perbincangan pun semakin akrab. Hingga kemudian, salah satu turis bertanya: "Are you Chinese? Because you look like Chinese."
Kisah lain adalah saat saya melihat garis silsilah keluarga besar bapak, yang disebutnya sebagai Keluarga Cilacapan. Dalam silsilah ini ada sejumlah nama tokoh, termasuk KH Saifuddin Zuhri. Ini berarti saya ada garis saudara dengan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan berkerabat dengan Abdurrahman Wahid hehehe.
Ingatan saya samar-samar soal ini. Tapi kalau tidak salah silsilah itu merujuk ke salah satu Sunan dalam Wali Songo, sepertinya Sunan Giri, yang juga ada garis keturunan Tionghoa. Setelah tahu ini, saya pun semakin yakin bahwa bisa jadi memang ada darah Tionghoa juga pada diri saya.
Mengenal silsilah ini menjadi fragmen yang cukup saya ingat sampai sekarang. Sebab, ada istilah dalam bahasa Arab, "Man 'arafa nafsahu, faqad arafa Rabbahu.." Siapa yang mengenal dirinya, maka akan mengenal Tuhannya.
Karena itu, jika ditanya "orang mana?", tentu saya akan menyertakan jawaban bahwa saya ada keturunan Tionghoa, meski selama menjalani hidup tanpa tradisi layaknya orang Tionghoa kebanyakan.
Tentang identitas
Sejarah mencatat bahwa pertumpahan darah besar-besaran bisa disebabkan karena masalah identitas. Betul bahwa identitas dapat menumbuhkan kebencian. Namun, kebencian ini tak sontak datang tiba-tiba.
Kebencian itu diajarkan. Meski saya yakin awal kebencian itu tak muncul semata karena identitas, tapi semata konflik kalangan elite.
Karena itu, seseorang di Suriah, Irak, atau Afghanistan bisa membenci siapa saja orang Amerika dan menyalahkannya atas negaranya yang luluh lantak. Seseorang di Eropa pun dapat membenci siapa saja imigran keturunan Timur Tengah dan menyalahkannya atas berbagai kehancuran akibat teror bom yang melanda.
Meski dapat dipahami, tentu saja kebencian tak dapat ditoleransi. Karena tak semua orang AS bertanggung jawab atas seruan perang yang dicanangkan pemerintahnya. Sama seperti tak semua imigran Timur Tengah bisa disalahkan atas perilaku teror yang dilakukan teroris yang kebetulan berasal dari bangsa yang sama.
Saya juga memahami bahwa kebencian terhadap etnis Tionghoa di Indonesia disebabkan karena kebijakan politik yang memisahkannya dengan "bangsa Bumiputra". Kebijakan ini ada sejak zaman kolonial, kemudian dipertahankan pada era Orde Baru dengan berbagai aturan diskriminatif, hingga terbentuk jarak yang semakin dalam.
Bagaimana dengan keadaan saat ini? Tentu saja kebencian itu bisa muncul karena politik. Dua kubu yang ada saat ini menciptakan berbagai narasi, termasuk politisasi agama dan politisasi kebinekaan, sehingga jarak yang sempat direkatkan pada era reformasi kembali semakin lebar menganga.
Saya memahami bahwa kebencian bisa muncul karena hal yang tidak kita pahami.
Hal ini diperlihatkan secara apik dalam video yang digarap Ancestry mengenai perjalanan DNA. Lihat videonya di tautan ini.
Ada 67 orang dari berbagai negara, dengan berbagai identitas, yang dipancing untuk mengungkap kebanggaan mereka akan identitasnya, juga kebenciannya terhadap bangsa lain.
Namun, perjalanan DNA memperlihatkan bahwa kebencian dan kebanggaan itu absurd. Sebab, orang Inggris yang mengaku benci Jerman akhirnya syok saat tahu bahwa DNA dia memperlihatkan ada 5 persen keturunan Jerman dan hanya 30 persen berdarah Inggris.
Seorang dari Islandia yang merasa bangsa terbaik, mungkin karena berpikir keturunan Viking, terhenyak saat tahu bahwa ada juga DNA keturunan Eropa Timur, Spanyol, Portugal, Italia, dan Yunani dalam dirinya.
Jika tidak ada darah murni dalam tiap diri manusia, lalu dari mana kebencian itu timbul?
Kebencian itu tentu saja bukan perihal genetik, bukan bawaan identitas. Kebencian itu ditanamkan, hasil internalisasi kita dalam menyerap beragam peristiwa, namun tak pernah ada di diri kita sejak semula.
Dengan berusaha mengetahui akar identitas, sebenarnya saya berupaya untuk mengenali diri saya sendiri.
Dengan mengenali diri sendiri, saya berusaha memahami bahwa jika ada ketidaksukaan, jika ada kebencian, jika ada amarah yang tersimpan, hal itu tidak pernah berasal dari diri sendiri, tapi dari pengalaman buruk yang saya dapat selama hidup. Pengalaman itulah yang seharusnya ditoleransi. (Dengan catatan, jika karena alasan tertentu sulit untuk kita lupakan atau maafkan.)
Melawan kebencian tentu bukan hal mudah. Saya memahami sepenuh hati bahwa benci tak bisa sepenuhnya dihilangkan, karena kita bukan malaikat.
Namun, yang perlu saya tanam ke diri saya sendiri: Jangan sampai kebencian itu menghilangkan fitrah kita sebagai manusia, yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.